Minggu, 26 Desember 2010

Aku mencintaimu melaui ingatan

Aku mencintaimu melalui ingatan
Aliran sungai bergerak se-arah ke samudera
Terus mengalir tanpa mampu melawan
Hanya kepadamu dan selalu

Aku mencintaimu melalui kenangan
Lewat cahaya bulan di jendela
Ruangan kosong yang sendiri
Dan malam yang terlalu sepi

Aku mencintaimu dalam tanya tak berjawab
Dalam makna yang di kandung puisi
Dalam siluetsiluetmu yang menari
Di kala senja yang tak pasti
Akankah kau kembali?

Ah, barangkali kau tak pernah mengerti
Bahwa mentari pagi masih suci
Menjaga setiap rasa di hati
Begitu pula embun, selalu mekarkan ingatan
Dan aku tetap sendiri, memujamu dalam ketaktahuan

Aku mencintaimu dalam setiap pengembaraan
Mencari jejakmu di setiap penjuru bumi
Sungai
Samudera
Senja
Malam
Pagi dan embun
Seakan-akan aku tengelam di dalam kekosongan
Seakan-akan aku tak pernah peduli lagi
Atau, mungkin aku telah mati di hatiku sendiri
Dan bila nanti kau kutemui
Tak usah kembali. kau tak-akan pernah sama
Tak perlu juga kau cabut pasak namamu di hatiku
Yang menahan cinta ini hanya untukmu
Dan cukupkan saja aku mencintaimu dalam ingatan

Kesendirianku

Kesendirianku bukanlah bahasa sepi
Terlalu riuh hati. Dan juga bukan lari
Kesendirianku adalah pilihan diri
Tuk’ mengerti waktu yang terlewati

Aku memilih sendiri. kepada hati
Jujur masih menjadi warna diri
Daripada hidup bersama kemunafikan
Karna hitam bukanlah acuan

Jika nanti tiba waktunya
Aku akan bersama
Dan kepada dia. Seribu luka
Akan menjadi sumber bahagia

Kini. biar dulu kulumat habis sepi
Agar tak tersiasia nanti
Agar tak tersisa perih
Di akhir kesendirianku, pasti.

Kau Wanita Berhati Iblis Berwajah Peri

Kau Wanita Berhati Iblis Berwajah Peri
; iF

Kau wanita berhati iblis berwajah peri
Yang mengasah airmata menjadi belati
Tubuhmu racun yang merupa madu
Sarana untuk lacurkan apa yang kau tuju

Di bibirmu, terapal doa-doa api
Membakar ajaran kitab-kitab suci
Airsusu pertamamu. Janji kelahiran
Sebagai kepastian kematian

Oo, samudera merah
Oo, langkah tak berarah

Engkau kekasih, berhati iblis berwajah peri
--yang bercinta dengan meneteskan airmata di pipi
Namun, belati kau tusukkan ke punggungku
Di percintaan terakhir kau dan aku

Jika ada yang ingin kuingat hari ini, itu pasti kamu

Jika ada yang ingin kuingat hari ini, itu pasti kamu
Hujan tak tepat musim adalah rindu yang tiba-tiba
Padamu segala aku tertuju dan selalu
Bising gemuruh adalah detak jantungku mengingatmu
saat kenangan memamah habis mimpi-mimpi

selayaknya kenangan, ingatan kembali membuka
lembar-lembaran cinta dan luka; tanggis dan tawa.

Tanpamu, akulah musafir kesendirian
Berjalan mengarungi samudera kerinduan
Mencari jejak yang mungkin sempat kau tinggalkan
Karna penanda adalah penunjuk arahku kepadamu

Mungkin saja waktu terus berubah
Sementara rasaku tak’
Selayaknya cinta, tak akan pernah hilang
Hanya kadarnya berkurang
Seperti ingatan yang tak mungkin berbohong
Yang tertetap akan selalu tertetap

Maka sudah sepantasnya jika aku mengingatmu hari ini.

Disinilah Aku.

Disinilah aku diantara malam-siang dan siang-malam, yang menunggu kedatangan kabut keabuabuan di sebelah timur dan yang mengantar kepergian cahaya merah jingga di sebelah barat, menjadi saksi ketika musim berganti, benih-benih mulai tumbuh dari jiwa yang tak berpengharapan. dan adalah aku yang menyebutnya kerinduan.

Disinilah aku, yang menungangi kuda kesendirian dan mengarungi hijau savanna kerinduan, aku berjalan di lembah-lembah, memangilmu, namun, tak ada suara yang kudengar selain gema hatiku. aku memanjat gunung tertinggi untuk melihatmu, tapi, tak jua kutemukan dirimu, di kejauhan hanya pendar warna perak yang samar mewujud rupaku.

Disinilah aku, yang mengarungi samudera mimpi, diantara ombak-ombak ilusi yang kubangun dari puing-puing kenangan. Yang menujumu, dengan petunjuk bintang utara yang tak pernah lelah memandu arah;
harapan kehadiran jiwamu;
gelombang menuju pantai, tepi yang tak pernah kutemui.

Bintang-bulan di langit kamarmu.

Pagi ini aku rindu bintang-bulan yang kuletakkan di langit-langit kamarmu, masih tetap bersinarkah? Ketika jarak tak bisa lagi memperpendek mimpi yang telah terlampaui, ada kamu dan aku, yang mempermainkan segala dan kita samasama menghujam dada sendiri dengan belati kemunafikan.

Sepertinya kabut pagi ini telah mengenapi topeng muka dan menghias wajahwajah dunia. Kita berlari menjauh, walau sebenarnya kita malah mendekat, namun mengingkari, inilah dunia-dunia yang telah melahirkan kita, membatasi semua dengan apa yang kita tetapkan sendiri, menciptakan perbedaanperbedaan, lalu meneriakan kemerdekaan; terpenjara di penjara yang kita buat sendiri.

aku rindu melihat bintang-bulan di kamarmu, seperti aku merindumu. ketika dalam gelap kita menjadi diri sendiri dan mereka bersinar lebih terang, kita mulai membuat sajak-sajak sebagai alasan untuk menelanjangi diri, bercinta dalam barisan rima-rima dan makna yang hanya kau dan aku yang mengerti.

Sungguh aku rindu bintang-bulan kau-aku. Satu rasa dalam jarak yang tak pernah mendekat, hanya berbagi cahaya dan kita mulai menyebutnya cinta. Begitulah, aku rindu bintang-bulan di langit kamarmu, sebenarnya aku lebih merindukan kau-aku.

Kamis, 16 Desember 2010

Halte

Lewat denting hujan dan gemuruh langit, ada irama yang memainkan musik kesendirian dengan syairsyair kerinduan , dimana sepi menari dengan bising yang hening, jalan-jalan yang lenggang, hanya sekalikali ingatan membalikkan waktu tentang luka yang masih terbuka lebar di hati yang kini telah menjadi kenangan, tak pernah kembali dan tak akan pernah, seperti waktu yang terus berjalan kedepan dan yang tertinggal hanyalah pertanda merah di almanak.
Hanya malam yang selalu menjadi saksi ketika halte ini, mempertemukan kau dan aku pertama kali, ketika rintik hujan membuatmu duduk di sampingku, itulah pertama kalinya aku melihat matamu, ada semacam getar muncul secara tiba-tiba yang sekarang baru aku mengerti artinya, cinta pada pandangan pertama. Sedikit kedinginan dan kelelahan terpancar di wajahmu, namun wajahmu tetap kelihatan cantik dan aku tahu para lelaki di halte ini memenjarakanmu di sudut matanya dan termasuk aku.
Sejak hari itu, aku putuskan untuk selalu berada di halte ini sepulang kerja, sama dengan jam keberadaanmu di halte itu dan aku telah sangat hafal. Walau telah sering kita bertemu tak pernah sekalipun aku berani untuk berkenalan denganmu, mungkin karena telah sering bertemu akhirnya kita saling mengenal rupa dan setiap bertemu sekalikali kita saling bertukar senyum ketika matamu dan aku secara tak sengaja berpapasan. Dan semua selalu berakhir ketika sedan berwarna hitam berhenti dan kaupun masuk kedalamnya, namun senyummu tetap tertinggal di halte ini, bersamaku.
Waktu terus berlari meninggalkan semua tanpa pernah berulang, kecuali kejadian aku selalu menantimu di halte ini, entah apa yang ada di pikiranku, namun yang kutahu ketika tak kutemui kau seperti di hari-hari libur kerja waktu seakan berjalan pelan, setiap detiknya adalah penyiksaan akan rindu untuk menatapmu, hanya menatapmu, itu sudah cukup untuk membuatku tidur larut malam dan berkhayal tentangmu.
Akhirnya, kesempatan untuk kita saling berkenalan pun tiba, ketika Jakarta dilanda banjir dimana-dimana dan mobil sedan berwarna hitam terlambat untuk menjemputmu dan dalam hatiku berharap mobil itu tak akan pernah datang. Karna hanya tinggal kita berdua di halte itu, akhirnya aku berani mengajakmu berbicara, walau pertanyaan pertamaku agak aneh sepertinya, mungkin karena ketololan atau karna gugup, aku tak tahu pasti yang mana yang dominan.
“maaf mba, jam berapa sekarang.” Tanyaku, kaupun menjawab dengan sebuah senyuman, sebuah senyum yang paling manis yang pernah aku tahu dan jantung kembali berdebar dengan kencang. Cukup lama aku membutuhkan waktu untuk menenangkan diri dan kembali membangun kepercayaan diri untuk kembali membuka pembicaraan.
“maaf mba sekali lagi, jam berapa ya sekarang.”
“sekarang jam sembilan lewat sepuluh menit mas, oh ya, jamnya rusak ya mas.” Jawabmu sambil tersenyum.
Dengan gerakan refleks aku langsung memegang pergelangan tanganku, kudapati sebuah jam tangan model digital ada di pergelangan tanganku dan jam itu menunjukkan jam sembilan lewat sepuluh menit.
“ oh ya, maaf mba, aku lupa bahwa aku memakai jam.” Jawabku sambil tertawa, walau sebenarnya adalah jawaban yang paling bodoh, tetapi setidaknya aku dapat membuatmu untuk ikut tertawa denganku.
Keheningan yang cukup lama terjaga akhirnya mulai sedikit mencair, berawal dari sebuah pertanyaan tolol itu akupun mengetahui namamu dan arah pulangmu yang sangat berlawanan dengan arah rumahku.

***
“baru keluar kantor?.”
“iya nih, tadi agak banyak kerjaan, kamu udah dari tadi?”
“enggak baru kok, tadi juga lagi banyak kerjaan di kantor.” Jawabku sedikit berbohong, sebenarnya walau di kantorku banyak kerjaan pasti akan kutinggalkan untuk bisa bertemu denganmu.
“temanmu belum jemput?.” Tanyaku lagi, sebuah pertanyaan yang juga sedikit bodoh bisik di hatiku, karna kalau jemputannya sudah datang pasti dia sudah ikut pulang.
“belum nih, tadi pas aku bilang mau lembur, dia bilang di kantornya juga lagi banyak kerjaan dan mungkin jemputnya agak terlambat.”
“oh ya, kamu belum naik angkutan umum?” ucapmu.
“belum, jam segini masih macet dan aku agak males kalo macet, jadi aku tunggu agak malaman sedikit baru aku naik.”alasanku sekenanya, padahal sebenarnya ingin bisa lebih lama bersamanya.
“oh iya sih, daerah sana memang macet sepertinya.” Ucapmu yang semakin membuatku mempunyai alasan untuk lebih lama bersamamu.
Pembicaraan berlanjut hingga akhirnya aku bisa mendapatkan alamat YM dan pin BBnya, malam ini sepertinya bintang dan bulan bersinar lebih terang di mataku, setiap detik serasa begitu hangat, di halte ini sepertinya hanya ada aku dan dia, entahlah dengan yang lain, perhatianku hanya tertuju kepadanya dan hanya kepadanya. Tak lama berselang akhirnya jemputannya pun datang, seorang wanita berambut pendek dengan sedan berwarna hitam.

***

Jam sepuluh siang telpon gengamku bergetar, sebuah pesan masuk, sebuah pesan yang membuat jantungku berdetak dengan sangat cepat, seakan tak percaya kupandangi kembali telpon gengamku dan secara perlahan kubaca nama yang tertera di sana, kupu-kupu, nicknamemu di YM, cukup lama kupandangi telpon gengamku sebelum setengah otak sadarku menyuruhku untuk menjawab pesan itu. Dan akhirnya kita saling bertukar pesan.
“hi juga.”jawabku
“sibuk?.”
“gak juga. Kamu?”
“lagi enggak nih. Siang ini udah punya rencana makan siang dimana?.” Tanyamu.
“belum, kenapa?” kubalas pesannya dengan cepat.
“ooo, makan siang bareng yuk..” jawaban yang membuat aku setengah berteriak dan terloncat dari bangku kerjaku dan di ikutin oleh pandangan aneh para karyawan lainnya.
“boleh, mau makan siang dimana?” jawabku setelah menenangkan diriku.
“terserah kamu deh”
“oo, kamu aja deh yang pilih tempat, gimana?”
“baiklah kalo begitu, gimana kalo kita makan di restoran cepat saji yang di ujung jalan?”
“okay.”
“ ya udah kutunggu di halte ya, jam setengah dua belasan..”
“baiklah, aku akan datang tepat waktu..”

Ketika jarum jam menunjukkan jam sebelas aku sudah sampai di halte yang selalu menjadi tempat pertemuan dan sekaligus perpisahan aku dan kamu. Dengan tersenyum aku ingat kembali peristiwa pertama kali aku melihatmu di halte ini, dimana pertama kali aku jatuh cinta kepadamu dengan pandangan pertama.
Tepat jam setengah dua belas kau datang.

***
Tiga bulan telah berlalu sejak pertama kali kita janjian makan siang, sejak hari itu kita semakin sering janjian untuk makan siang, melewati hari dengan obrolan ringan atau seputar masalah kerjaan dan tak pernah menyinggung masalah pribadi. Kau dan aku semakin akrab dan sekarang saat kita berjalan pun sudah saling berpengangan tangan, layaknya sepasang kekasih, harihari selalu kita jalani dengan canda dan tawa dan tak pernah ada pertengkaran di antara kita.
Tapi, satu pertanyaan selalu mengajal dipikiranku, tentang permintaanmu yang hanya boleh menghubungimu di jam-jam kerja saja. Banyak pertanyaan mampir di otakku, diantara sekian banyak pertanyaan itu, satu perntanyaan cukup sering muncul; apakah kau sudah memiliki suami? Namun, jika memang kau telah memiliki suami kenapa tak pernah kulihat cincin di jarimu. Tapi, sebagai lelaki yang mencoba mengerti pasangannya aku menyetujui permintaanmu, karna kupikir setiap orang mempunyai privacy masing-masing dan aku menerima semua itu.

***

Pas lima bulan sejak pertama kali kita janjian makan siang, kau mengajakku untuk pergi liburan ke taman safari, tapi tentunya di hari kerja, hingga kita harus membuat alasan untuk tidak masuk kerja dan kita memilih hari jumat karna esoknya adalah hari libur. Di halte itu kita kembali janjian bertemu dan menunggu bis.
Sesampainya di taman safari udara terasa begitu segar, tidak seperti udara yang biasa kita hirup di Jakarta, dimana udara telah tercemari oleh polusi-polusi, disini udara terasa lebih segar dan membuat pikiran terasa begitu rileks. Sepanjang jalan kulihat wajahmu begitu bahagia, kau seperti seseorang yang baru mendapatkan kebebasan dan gengaman tanganmu tak pernah lepas dari tanganku.
“kau senang?” tanyaku, setelah berada diatas mobil yang disediakan oleh pihak kebun binatang untu berkeliling.
“aku senang sekali, disini begitu damai, begitu bebas, terima kasih telah membawaku kesini.”jawabmu sambil kau memeluk tubuhku dan merapatkan tubuhmu ke tubuhku.
“lihatlah, disini tidak seperti kebun binatang lain, disini binatangnya bebas berkeliaran.” Ucapmu.
Mobil terus berjalan hingga di pemberhentian terakhirnya, kau dan aku pun turun dan terus kita memilih untuk menonton acara drama yang bercerita tentang negeri koboi yang di perankan oleh manusia dan hewan, aku begitu gembira melihat aksi mereka yang begitu mempesona dan juga lucu, setelah acara itu kita melanjutkan kembali berjalan-jalan tanpa pernah melepaskan gengaman tangan kita, menyaksikan binatangbinatang dan keunikan mereka, betapa menarik kehidupan mereka.
Tak terasa mentaripun telah mengurangi sinarnya dan sore hari akan menjelang, kita memutuskan untuk mengakhiri perjalanan dan segera pulang agar tak terlalu malam sampai di Jakarta.
Bis berjalan memasuki tol jagorawi, kau menyederkan kepalamu di bahuku, secara perlahan kubelai rambutmu dan dengan pelan kucium kepalamu.
“aku mencintaimu.” Ucapku.
Kau pun tersenyum mendengarnya, tapi, di balik senyum itu kulihat kegusaran di wajahmu, walau tak begitu jelas kau siratkan namun aku telah memahami perubahperubahan di wajahmu.
“ada apa?, kau tak suka dengan kataku yang barusan?”tanyaku.
“tidak. Aku sangat senang mendengarnya, jujur, akupun begitu mencintaimu. Tapi…”
“tapi apa?”tanyaku dengan suara yang cukup lirih.
“hmm…..ada sesuatu yang belum kau ketahui tentangku.”
“maka beritahulah aku biar aku mengerti.”
“aku takut, setelah aku beritahu tentang siapa aku sebenarnya, kau akan membenciku.”
“kenapa aku harus membencimu?”
“karna aku tak seperti gadis normal yang lainnya.”
“normal? Maksudmu?.”
“iya, kau hadir di hidupku dan membuktikan bahwa apa yang sedang kulakukan ini salah, keadaanku saat ini tidak normal untuk orang lain dan kau datang memberikan kembali apa yang tak pernah kurasa, mencintaimu, mengembalikan diriku sebagai wanita sesungguhnya.” Airmata menetes di kedua pipimu, wajahmu menampakkan penyesalan yang sangat dalam.
“aku mencintaimu dengan tulus, aku akan menerima semua masalalu, apapun itu yang pernah kaulakukan..”jawabku sambil menghapus airmata di kedua pipimu, lalu, kucium lembut kening serta bibirmu, agar kau yakin akan ketulusan cintayang terus mekar di hatiku.
“terima kasih sayang, aku bahagia sekali..”jawabmu.
Lalu, keadaan kembali hening dan aku tak ingin memaksamu untuk mengatakan tentang keadaanmu, aku telah mencintaimu dengan tulus tanpa syarat dan akan menerima apa adanya dirimu.
“sayang, biarlah aku menyelesaikan semua keadaan dan masalahku saat ini sendiri, sabtu dan minggu besok semua akan selesai, dan di hari senin aku akan utuh menjadi milikmu seorang.”tiba-tiba suara memecah keheningan, muka menampakkan wajah keyakinan.
“seorang?. Jadi selama ini kau punya lelaki lain?.” Jawabku.
“percayalah, aku tak pernah mempunyai lelaki lain di hidupku selain kamu?” jawabmu sambil kau mencium lembut tanganku.
“jadi apa?”
“hari senin aku akan menceritakan semuanya kepadamu dan sekarang biarkan aku menyelesaikan semua ini.”jawabmu
“kenapa harus menunggu hari senin, akupun telah siap kok menerima apapun dirimu.”
“sudahlah tak usah dibahas lagi, saat ini, aku hanya ingin menikmati perjalanan ini dalam pelukanmu.” Ucapmu sambil kau memeluk lenganku dan merapatkan tubuhmu di tubuhku.
Bis terus berjalan dan saat ini sudah memasuki Jakarta, tepat di halte biasa kau dan aku bertemu dan berpisah kita turun, jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
“mau kuantar pulang?”tanyaku.
“nggak usah, aku naik taksi aja.”
“ya sudah, ntar pulang di jalan hatihati ya.” Jawabku sambil memberhentikan taksi warna biru dan menyuruh masuk kedalam taksi
“sayang, terima kasih ya hari ini, aku bahagia sekali..dan hari senin semuanya akan baikbaik saja dan kita pasangan yang sama dengan yang lainnya..” ucapmu.
Dan aku hanya menjawabnya dengan tersenyum walau di kepalaku katakatamu menyisakan pertanyaan.
“ya sudah, ketika sampai usahakan untuk menelponku hanya untuk memberi kabar bahwa kau baikbaik saja.”ucapku.
“aku mencintaimu.” Balasmu dan menutup kaca taksi dan segera taksi berjalan, aku masih berdiri di pinggir jalan.
Sambil menunggu angkutan yang kearah rumahku, aku tersenyum mengingat perjalanan tadi, betapa semua begitu indah dan betapa aku mencintainya.
Malam semakin larut sudah lima belas menit aku menunggu angkutan, seakan tak sabar menunggu angkutan di halte, aku berdiri di pinggir jalan dan masih tetap dengan lamunanku tentang kejadian hari ini, tanpa sadar sebuah mobil sedan berwarna hitam yang di kendarain oleh wanita yang berambut pendek melaju dengan kecepatan tinggi arahku, dalam sekejap membuat tubuhku terpental cukup jauh dari tempatku berdiri terakhir kalinya dan setelah itu membuatku tak ingat apa-apa lagi.
Treeetttt….treeetttttttt..
Treeetttt….treeetttttttt..
Suara telpon gengamku membuatku tersadar, dengan tergopoh-gopoh aku berjalan kearah telponku yang berada cukup jauh dariku, aku lihat namamu di layarnya, segera aku ingin mengangkatnya ketika kusadari tak bisa tanganku menyentuhnya dan kuulang kembali untuk menyentuh telpon gengamku dan tetap tak bisa kumenyentuhnya. Belum hilang kebingunganku, aku mendengar suara ribut-ribut orang orang yang sedang berkerumun di dekat halte, berkerumum membentuk setengah lingkaran, dengan perasaaan yang agak penasaran tentang apa yang mereka lihat, aku berjalan kearah kerumunan itu, dan kulihat sesosok tubuh penuh darah tergeletak di sana, tubuh yang sangat aku kenali, tubuh yang sudah sangat aku hafal setiap detilnya, tubuh yang telah menemaniku dari kecil dan tubuh itu adalah tubuhku.




Bekasi.

Caraku mencintaimu.

“sampai kapanpun, Aku akan selalu merayumu, agar selalu kulihat senyum di bibirmu.”

Dan kutulis puisi ini memang untuk merayumu, untuk memujamu dalam katakata indah walau terkadang terdengar lebay, namun, memang begitulah aku mencintaimu, mencintaimu dengan segala yang ada padamu, yang selalu terlihat indah di mataku.dan pada akhirnya, aku selalu sadar tak ada katakata yang mampu mengambarkan keindahanmu.

Matamu yang bening adalah tempat segala rindu kularungkan, menghentikan semua kecemasan, karna kini aku tahu, dimana aku akan pulang.
dan bibirmu adalah surga, tempat pertama kali aku bisa membedakan mana yang benar dan salah. Layaknya adam dan hawa, bersamamu, Akan tetap kulakukan dosa itu.

Saat memelukmu, adalah permainan yang paling memacu andrenalin, melebihi permainan di dunia fantasi. Jantung yang berdetak begitu kencang membuat tubuhku bergetar hebat, selalu saja, yang tak pernah kutemui di permainan manapun.

Begitulah aku mencintaimu, menukar rayuan dengan senyummu.

Mencintaimu dalam diam

pagi ini aku mengunduh fotomu dari account facebook-mu dan menjadikannya wallpaper untuk telpon gengamku, tentunya tanpa kau ketahui, entah agar aku bisa terus memandangi dan menelanjangimu dengan pikiranku atau karna efek dari bir yang kuminum di pagi ini, bir buah tangan dari adikku setelah semalam tak bisa mengajakku untuk ikut dugem di sebuah diskotik bersamanya, ahh, cukup lama telah kutinggalkan dunia malam itu.


Mencintaimu dalam diam

Aku memilih mencintaimu dalam diam
Dalam sepi yang di kandung malam
---yang berjalan sendiri
; tersesat di mimpimimpi puisi

Di hatimu. Aku adalah pintu
Saksi keluar-masuk tetamu
Deritnya suara jerit hatiku
Ketika kau tutup dan buka

Kekasih, aku mencintaimu dalam diam
Diantara bising yang mewujud hening
Dalam kata tanpa suara
Getar dalam kebisuan cinta

Padamu ada ilusi terus tumbuh
Mekarlah laksana bunga padma
Di tengah telaga keinginan
Ahh, semerbak di kediamanku

Puisi Terakhir

Sepagi ini kabut masih turun di kotaku, sesuatu yang sudah sangat jarang terlihat lagi di kota ini, mungkin karena saat ini perkembangan pembangunan dan penambahan kepadatan penduduk membuat perubahan terhadap suhu kota ini. Udara dingin yang lindap di sampingku membuat tubuhku agak mengigil, apalagi kendaraan melaju dengan laju yang agak kencang.
Tepat jarum jam menunjukkan jam 4:30 aku tiba di rumahmu untuk menjemput dan mengantarkanmu ke kostanmu dan tempat kerjamu di daerah Tangerang, seperti biasa kulakukan setiap hari senin, tapi pagi ini sengaja aku datang agak pagi karna hari ini aku ingin menikmati setiap detik perjalanan bersamamu.
Jalanan Depok sepagi ini masih lenggang tak begitu banyak lalulalang kendaraan, dengan tak begitu kencang kupacu motorku dengan mantap untuk melahap jarak sedikit demi sedikit, kurasakan lembut tanganmu memeluk pinggangku dan kurasakan sedikit kehangatan merambat pelan keseluruh sisi di hatiku, walau telah lama bersamamu tapi masih saja kurasakan debar jantungku seperti pertama kali cinta ini menetap dihatiku, tak pernah berubah sedikitpun.
Memasuki jalanan arteri pondok indah matahari telah terbangun dan cahaya terang sedikit demi sedikit terasa pasti menganti gelap malam, di sebuah perempatan lampu merah kuhentikan motorku ketika lampu berwarna merah menyala, diantara ramainya pengendara lain aku gengam jemarimu, merasakan setiap lembut kulit di telapak tanganmu, aku suka saat ini, saat kau membalas gengaman jemariku serasa kau juga mengengam hatiku, ada kedamaian menjalar diantara riuh degup jantungku yang semakin kencang, saat-saat seperti inilah yang selalu membuat aku semangat untuk tetap ingin mengantarkanmu, walau aku tahu waktu dan jarak yang kutempuh begitu jauh.
Roda motor terus berputar dengan pasti, sepasti kisah yang kita jalani selama lima tahun ini, dimana kebahagian selalu hinggap di harihari kita, bersamamu, senyum dan tawa selalu menjadi obat ampuh untuk melepaskan penat di setiap keletihan raga setelah seharian bergulat dengan urusan pekerjaan.
Di sebuah warung di jalan Ciledug raya kuhentikan laju motor, di warung ini kita selalu beristirahat untuk sedikit melepas lelah perjalanan atau sekedar istirahat untuk minum segelas kopi. Pagi ini sengaja aku duduk berhadapan denganmu, agar dengan leluasa kupandangi wajahmu, ahh, betapa cantiknya wajahmu, wajah yang selalu menghiasi setiap detik di harihariku dan wajah yang selalu membuat kerinduan di dadaku. Pagi ini juga tak banyak kata yang keluar dari mulutku, karna pagi ini, aku hanya ingin menikmati wajahmu dan setiap detik kebersamaan denganmu, setiap detik yang terasa begitu cepat berlalu, andai saja bisa kubunuh waktu agar tak bergerak dan membuat kebersamaan ini akan abadi selamanya. Tapi, laju waktu memang tak pernah bisa kita hentikan dan perjalanan harus kita lanjutkan.
Memasuki batas kota Tanggerang, laju motor semakin aku perlambat dan kurasakan pelukanmu semakin kencang di pinggangku seakan kau tak ingin melepaskan kebersamaan ini, dan aku kembali mengengam jemari tangan sebelah kirimu, kali ini aku gengam dan menempelkannya di dadaku agar bisa kau rasakan betapa jantungku selalu berdebar kencang ketika kumenyentuhmu dan juga agar kau tahu betapa besar rasa cintaku kepadamu, perlahan kurasakan mataku berair dan dadaku sesak. Dan tentu kau takkan pernah tahu, karna tak akan pernah kuperlihatkan itu semua di depanmu.
“gak ikut masuk?” ucapmu, sesampainya kita di rumah kostanmu.
“gak, aku menunggu disini aja, aku ingin menikmati lalulalang orangorang yang lewat.” Jawabku dengan alasan sekenanya saja.
“ya udah, tunggu sebentar ya.”
Sambil menunggumu menganti baju dengan seragam kerja, aku hafalkan bentuk rumah dan linkungan sekitar serta kebiasaan orangorang sekitar sini, tempat yang sangat nyaman dan para penduduk yang ramah, ahh, mengapa baru aku memperhatikannya. Tak berapa lama kau pun keluar dari rumah kostanmu, dan kau bertambah cantik dengan seragam kerjamu.
“lama ya nunggunya?” ucapmu. Sambil kubalas dengan tersenyum.
Lalu, aku mengandeng tanganmu untuk menyebrang jalan, karna tempat kerja dan kostanmu bersebrangan jalan, dan dadaku kembali berdebar dengan kencang.
“terima kasih sayang.” Ucapmu sesampainya di depan kantormu.
Aku kembali tersenyum.
“oh ya, ini untukmu.” Ucapku, setelah dari kantong baju kukeluarkan sebauh amplop berwarna biru, warna kesukaanmu.
“apa ini? Pasti puisi lagi ya? Tumben kali ini ngasih puisinya pake amplop, biasanya hanya kertas yang di coretcoret biasa atau hanya menandai di note facebook aja.” Ucapmu sambil tersenyum. Betapa cantiknya kau, bisik di hatiku.
“mungkin itu puisi, jika memang itu puisi maka itu adalah puisi terakhir yang kutulis dan aku tak ingin menulis puisi lagi.”ucapku.
“lohh, kenapa?. Padahal aku sangat suka dengan puisipuisimu, puisi yang selalu kau tujukan untukku, dengan puisimu aku bisa merasakan betapa kau menyayangiku.” Tanyamu.
“gak apaapa kok, ya udah gak usah dibahas.”jawabku.
“aku gak ngerti.” Ucapmu lagi.
“ya sudahlah, kamu masuk gih, ntar kamu telat lagi masuk kantornya.” Jawabku untuk menghindar dari pertanyaanmu.
“ya sudah, kamu hatihati ya ke kantornya, gak usah ngebut bawa motornya.” Ucapmu sambil mencium tanganku dan memintaku untuk mencium keningmu, sebuah kebiasaan yang selalu kita lakukan ketika bertemu dan berpisah.
“oh ya, jumat malam jangan lupa untuk memjemputku ya, aku sayang kamu dan pasti tak sabar menungu jumat malam untuk bertemu denganmu kembali.” Ucapmu. Dan aku hanya tersenyum mendengarnya.
Inilah untuk pertama kali aku tak membalas ucapan sayangmu.
Sambil berlari kecil kau masuk kekantormu.
Cukup lama aku tetap berdiri di depan kantormu, memandang kearah terakhir tubuhmu menghilang dari pandanganku. Secara perlahan kembali kulangkah kakiku menuju tempat motorku parkirkan, kembali kuhidupkan mesin motorku untuk menuju kekantorku di daerah Jakarta utara, namun, ketika tiba di persimpangan jalan aku tak jadi melanjutkan perjalan kekantorku, hari ini aku memilih untuk mengulang kembali jalan yang selalu kulewati bersamamu, namun kali ini aku ingin melewatinya sendirian dan mengingat kembali semua kenangan bersamamu di jalan itu.
di tengah perjalan pikiranku terus mengingat isi amplop biru yang kuberikan kepadamu, sebuah surat untukmu.



Untukmu, sayangku.

Sayang, ketika pertama kali mimpiku kau jadikan nyata dengan menerimaku menjadi kekasihmu, sungguh, tak ada selain itu yang aku inginkan dan sejak saat itu kau telah menjadi tujuan di hidupku. harihari bersamamu adalah kebahagian, tak pernah ada airmata yang pernah menetes di mata dan hatiku, untuk itu kuucapkan terimakasihku.

Sayang, terkadang waktu selalu menjadikan kita pelupa dan membuat kita harus memilih langkah mana yang harus kita pilih, seperti perjalanan selalu saja ada persimpangan yang selalu membuat kita tertarik dan melupa tujuan akhir dari sebuah tujuan awal dan memang begitulah kehidupan. Dan seperti layaknya sebuah pilihan akan selalu ada yang di korbankan, karna kita pasti samasama tahu untuk mendapat sesuatu kita harus kehilangan sesuatu, dan aku memilihkan itu untukmu.

Sayangku, rasa adalah sesuatu yang ikhlas tanpa pernah bisa dipaksa, sesuatu yang tak bisa di duga datang dan perginya. Tapi menurutku, rasa cinta tak akan pernah bisa hilang, mungkin hanya bisa berkurang kadarnya, karena kenangan adalah hal yang selalu akan tetap ada seperti sebuah ketetapan yang tak pernah bisa di rubah oleh apa dan siapapun.

Aku tahu, sayang. Saat ini hatimu sedang memilih dan aku tahu itu dari perubahan-perubahan sikapmu, walau kau berusaha untuk tak pernah merubah atau memperlihatkan itu kepadaku, tapi, tak ada kebohongan yang sempurna. Ingatkah kau sayang, dulu penah kukatakan kepadamu, aku bukan sebuah pilihan dan ketika hatimu sudah mulai memilih maka saat itu kau juga telah kehilangan diriku. Dan inilah aku sekarang, membebaskanmu untuk pergi.

Selamat tinggal, sayangku. Semoga bahagia dan tetaplah tersenyum.



Dengan cinta,


Yang tak bisa lagi bersamamu.

Kamis, 09 Desember 2010

Catatan dinding : Ketika Hujan Aku Mengingatmu

; linie maharani


Sejak sejarah mencatat hujan adalah kepurbaan rindu yang mengikuti dan ingatan selalu saja tertuju untukmu, rintikrinai menyentuh lembut ujung daun mendendangkan melodi indah tentang nyanyian ritual pemujaan keindahan; dirimu.
Serupa bibirmu, kesejukan menjalari setiap sisi di tubuhku, ada gigil yang mengetarkan detak di jantungku; ketika bibirmu menyapa lembut bibirku.
Kita kembali membalikkan waktu, saat pertemuan, hujan mewujud dalam rupa warna yang mengambar hatiku dan mu. Inilah sejarah katamu, dimana hujan mulai turun dan kita mencatat setiap rindu di buku ingatan.

***
Adalah hujan samarkan airmatamu dan aku ketika rindu lebih mengambil alih tatapan dan kita mulai mencipta jarak diantara sesak yang menghujam dadaku di dadamu; degup yang tak lagi berdetak di keasingan musim.

***
Aku masih memandangi hujan ketika ingat kau pernah katakan selalu menitipkan rindumu di setiap rinainya tapi aku lupa menanyakan di rintik yang mana rindumu akan mewujud.

***

Hujan adalah gemuruh yang berkecamuk.

***
Gemuruh adalah rindu yang berdetak di jantungku ketika hujan aku mengingatmu

***
Jantungmu berdetak di jantungku

***
Ketika kau Tanya “Apakah karna kecantikan kau memilihku?”. Maka kujawab “ jika karna kecantikan aku memilihmu, maka, akan kupastikan aku takkan memilihmu.”.

***
Jadilah kekasih, istri sekaligus pelacur untukku.

***
Membaca pesan yang kau titipkan di rinai hujan ada keraguan terbesit saat pelangi muncul ketika hujan reda karna kita samasama tahu tak ada warna abuabu di pancarannya.

***
Matamu yang embun adalah tempat segala rinduku memandang.

***
Jika mencintaimu adalah hunusan pedang, maka, aku telah mati di kematian yang indah

***
Di dadaku kau tumbuhkan resah
Pun waktu semakin pecah
Ketika cinta terus mekar dalam darah
Dan kita binggung menentukan langkah

Ayunan langkah tak sekuat gengam jemari
Persimpangan adalah harga mati
tentukan arah akhir tujuan
tentang kebersamaan dan kesendirian

***
Siang hari yang kulalui tanpamu
Betapa aku bising di kesepianku
Dan seperti malam yang kau ajarkan kepadaku
Betapa aku sunyi di keheninganmu

***
Setelah kepergianmu, aku tahu,
akan sunyi yang panjang
Hingga waktu membawamu kembali

***
Ketika kucari alasan kenapa aku mencintaimu, aku semakin kehilangan diriku
Karna ketika aku mencintaimu, aku mencintai diriku sendiri

***
seperti kamu, bungga mekar dan berwarna indah ketika dia menjadi dirinya sendiri tanpa harus di tata, dan masalalu adalah pupuk terbaik

***
Ketika siang mengatakan mencintai malam dan malam mencintai siang
Apakah kau percaya?
Sementara mereka tak pernah bersama

***
Kau dan cermin samasama memantulkan diriku

***
Dan kusebut ini cinta; aku menyayangimu melebihi diriku sendiri

***
Adalah kau yang merubah nadanada sedih di masalaluku menjadi melodi indah dengan syair-syair yang kau tulis dengan masadepanku.

***
Meragu adalah menanam benih di musim kemarau

***
Balok es takkan beku selamanya ketika temperaturnya tak dijaga; begitulah cinta

***
Di malam ketika kau tak ada
Kupatahkan rantingranting malam
Mengugurkan daundaun mimpiku
Ke tanah yang lembab dan kosong

di malam ketika kau tak ada
gongongan anjing begitu nyata
sekawan katak menyanyikan lagu rindu
ritual pemujaan akan kehadiran rembulan

di malam ketika kau tak ada
ada kesunyian di pulau hatiku
jalan setapak yang lenggang
yang gelisah menuju arahmu

di malam ketika kau ada
malam mengecup lembut bulan
sajak menikahi makna
dan aku tak ingin tertidur; lagi

***
Dan ketika nanti aku menghilang, percayalah, bukan karena rasaku berubah
Tapi, hanya ingin mengetahui seberapa besar rasa dan inginmu untuk bersamaku

***
Di kemudaan usiaku, akan selalu ada kesalahan yang akan kusesali nanti, kecuali mencintaimu.

***
Sebagai pengembara, takkan pernah kuhentikan langkahku
Tetapi, sebagai pecinta, telah kupastikan hatiku menetap di hatimu

***
Untuk bersamaku, kau harus seorang pejuang yang tangguh
Karna hidupku terlalu akrab dengan kemalangan

***
Di sebuah telaga yang bening, di tumbuhi oleh bungabunga air yang indah dan beraneka warna hiduplah seekor katak yang sangat mencintai bulan dan ketika malam di setiap malamnya selalu bernyanyi untuk menarik perhatian sang bulan. Kejadian itu berlansung secara terus menerus, hingga suatu saat katak kehilangan suaranya dan ia tak bisa bernyanyi lagi untuk memuja kekasihnya; bulan.
Waktu terus berlalu, katak tersadar dan merasa usahanya selama ini untuk menarik perhatiaan kekasihnya hanyalah pekerjaan sia-sia, karna bulan tak pernah mendekat untuk berada di sampingnya dan jarak di antara mereka selalu sama dan tak pernah berubah sedikitpun. Akhirnya, katak lebih memilih untuk menikmati keindahan bungabunga air dan mereka bersama selamanya di telaga bening itu.

***
“Keyza azzahra Fauzan”

Pada sebuah nama telah kita sepakati ketika kelahiran masih terkandung di dalam kepalamu dan aku sebagai penerus sejarah kematian dan juga sebagai alasan penyatuan isi dadamu dan aku karna di nama terakhirnya telah tertuliskan setengah takdir yang menjadi garis di tangannya sebagai isyarat di hari kelahirannya.

***
Jika ini memang perjudian terakhir, taruhkanlah seluruh masalalumu dan terimalah kemenangan atau kekalahan di masadepanmu.

Bagaimana kau menuliskan aksara namaku di dadamu

Kepada aksara namaku yang dulu terpahat di dadamu dan kini telah kau tukar dengan angka-angka berasal dari kepalamu, kita mulai menghitung sejauh mana angka samarkan warna merah senja di wajah dan melupakan kedatangan malam beserta kesepian yang selalu saja mengikutinya

Begitulah. Kita setuju bahwa tubuh adalah alat tukar yang baik ketika rindu semakin melacur di dadamu dan aku.

Dan seperti biasa kelupaan selalu alpha memberi petunjuk awal tentang ketuaan tibatiba, kau mulai sibuk meniadakan angka di dadamu dan kembali menganti dengan aksara namaku yang dulu telah kau hapus, lalu bagaimana kau menuliskan aksara namaku di dadamu? sementara aku telah lupa dengan aksara namaku sendiri yang telah juga kuganti dengan angka-angka.

Kamis, 25 November 2010

Di Malam Pertemuan Sekaligus Perpisahan

Di malam pertemuan itu.
Memelukmu, selaraskan detak jantungmu di jantungku
Tukar-menukar nafas, menyapu lembut wajahmu dan aku
Begitu dekat
Seakan kau-aku satu tanpa sekat

Seperti ketika lelapmu di sampingku
mimpimu adalah mimpiku yang tergenapi

Lin, detakdetik adalah kenangan tak berulang
Di keningmu masalalumu telah tercatat
Mari lupakan saja,
kucium bibirmu sebagai tanda masadepanmu adalah aku

Tak usah kita risaukan hujan
Yang turun tak tepat waktu
musim memang telah meragu
Tentang cinta, tentang logika
Dan tentang kita

Lin, kuceritakan negeri hatiku,
sebuah negeri di jauh utara
Sebuah negeri dimana dingin terlalu gigil
Negeri yang tak perlu bermimpi
Dimana setiap rasa adalah nyata

Engkaulah tuan putri, di negeri para bidadari
Di sana waktu berhenti berdetak
tak ada ketua-an tiba-tiba
dan jiwa terus hidup abadi

lin, keraguan adalah riak di ketenangan samudera
sebagai tanda kita memang ada
di malam kau dan aku mewujud
kita samasama menarik sauh
kembali layarkan perahu rasa
yang lama tertambat di pelabuhan luka

seperti jarak, merindu adalah perjalanan
dimana kan selalu ada yang tertinggal

masihkah kau percayai hujan
yang mengantar rindu tak tepat waktu
sementara alamat telah kita hafal
di sudut bibirmu, kau teruskan ceriwis gerimis
rindu yang terlalu renta, di kepurbaan jarak
menjadi alasan kepergian-kepulangan

malam itu, ada cerita belum tuntas
serupa debu yang kau selipkan di kantong jaketku
ketika dingin merapatkan tubuhmu di tubuhku
terasa laju begitu kencang
dan kita kendarai angin dan malam

akhirnya, kita jua jadi saksi
kematian malam di kelahiran pagi
mengucapkan kata perpisahan dan ketibaan
entahlah, di dadamu atau di dadaku
debar degup kembali merupa kesepian
yang sempat kita bunuh
ketika tatap matamu mataku menajam
menghujam segala sunyi

lalu, kembali perkalian jarak
membagi segala rindu
menambah segala harap
diantara hasil sama dengan mimpimimpi
di malam kita kembali sendirisendiri.

Lin, Ini bukanlah perpisahan
hanya pengukur sejauhmana rindu samarkan ragu
diantara jeda yang menghadirkan beruparupa rupa
semoga, rupamu rupakulah tetap merupa

Aku Memaknai Aku

Dalam gelisah aku berlari dan sembunyi
Diantara aksara yang tak jadi
Di jalan-jalan yang sepi
aku menjadi sejarah dan puisi

begitulah aku memaknai aku,
arus kencang tak bergerak kemana
sebuah pusaran dalam telaga yang sama
tak mengalir dan mati

Sabtu, 13 November 2010

:)

...
Dari:
CS KC Sambas
...
Tambah ke Kontak
Kepada: diujunggelap@yahoo.com
Memulai pagi ini dengan mendengar suaramu. Terasa ada yang beda, waktu berlalu terasa cepat. ahh...begitu aku merindukan suara itu,ingin rasanya cepat2 kembali kekost dan melewatkan malam dengan bertukar cerita denganmu tentang apa saja yang kita lakukan hari ini.

Kantor seperti biasa, sepi :) (sepertinya akan terasa aneh klo kantorku rame) hehehehehe...
sedang memikirkan kamu lagi ngapain di indramayu, ahh...seandainya deket, pasti aku udh pesan mangga 1 keranjang deh buat oleh-oleh (dan untuk yg satu ini kamu pasti bersyukur aku gak ada didekat kamu. hehehehehe)

Ayah...gak sabar rasanya menuntaskan janji kita yang belum tersampaikan. jalan-jalan dr bekasi-puncak-bandung. jauh2 kepuncak cuma buat makan jagung bakar, dan jauh2 kebandung cm buat meninggalkan jejak kita disetiap tanjakan dan turunannya.
rasanya ingin membuat ritual ya yah, setiap tahunnya di tanggal 6 november (hari pertama kali aku melihatmu) kita jalan-jalan melewati jalan yang sama (tebet-bekasi).
Tempat pertama kali aku melihatmu, yang kupikir aku gak akan pernah melihatmu. Gara-gara ditelp kamu ngakunya lagi di tim. Begitu keluar dari hotel, dan menoleh ke kanan aku tau kalau itu kamu. kamu tau sayang, hal sama yg aku lakukan sebelum aku kekotamu. aku benar2 menghafal wajahmu, menghafal senyummu dan berusaha menghafal suaramu. agar jika aku bertemu kamu di tempat yg tidak kita janjikan aku tetap tahu itu kamu. Pertama kali melihatmu, rasanya ingin sekali memelukmu tapi kita sepertinya samasama terpukau, rasanya gak percaya. sosok yg dulunya hanya terdengar suara kini benar2 nyata ada didepan mata.

Sayang tau apa yang terpikirkan olehku sekarang?? jika Allah menjodohkan kita dan kamu akan menjadi ayah buat anakanakku kelak,Farian Pratama Fauzan dan Keyza Azzahra Fauzan harus tau tempat itu. tempat pertama kali aku melihat ayah mereka, jalan pertama kali yang kulalui bersama ayah mereka dan jejak yang kutinggalkan bersama ayah mereka. Insya Allah. Semoga....


sayang... aku yakin kamu adalah lelakiku dan ayah buat anakanakku kelak, maka berjuanglah...aku akan selalu mendoakanmu untuk menjemputku disini. amien...

Note: Farian, Keyza dan Bunda masih menunggu ayah disini. ayah yang semangat ya... Miss U...

Senin, 01 November 2010

Pagi ini aku ingin meminum arak


Pagi ini aku ingin meminum arak
Agar terlupa sejenak sesak
Lama sudah kuhindari kelupaan
Sejak sepi dan kesendirian menjadikanku tawanan

Pagi ini aku tak ingin meminum kopi
Membuatku selalu terjaga akan luka ini
Setelah kepergianmu, aku tahu luka ini abadi
Seabadi pagiku yang tak lagi bermentari

Oh, beranda yang dulu menjadi saksi
Ketika kata perpisahan, membuat rindu jadi kuburan kesepian
Lelapkanlah aku sejenak
Seperti kau menidurkan setiap mimpi
yang kutanam di tanah harapan dari masalalu

dan adalah aku
kehilangan diriku sendiri
ketika sepi dan kesendirian
menanam keegoisan

dan adalah aku
terus bertanyatanya, kapankah kau bawa kembali?
jiwaku yang kau curi ketika pertama kali
kau rebahkan tubuhmu di dadaku, di beranda hatiku

pagi ini aku ingin meminum arak
agar terlupa sejenak sesak
dan bila terbangun nanti
aku kembali siap dengan semua luka ini


Bekasi.

Kamis, 28 Oktober 2010

Tentang Merindumu


berungkali kita tulis sejarah kesendirian, kelak menjadi riwayat airmata yang tumpah di matamu dan bermuara di dadaku. serupa hujan malam ini, dingin.
sekilas kenang tertangkap di ingatan, tentang kita yang bermandi peluh, bertukar dekap dan tatap, nafas begitu memburu seakan detik tak ingin terlewat sia-sia.
malam itu kuletakkan bintang dan bulan di langit kamarmu, semoga kau ingat itu, sayang.

lalu, petir menyambar dan gemuruh bergema di langit, membuncahkan kerinduan yang sangat, ketika kita memilih bermalam dalam kesendirian. dan aku merindumu.

ketika merindumu, di mana sepi semakin sunyi adalah aku yang menjadi pendusta ketika kukatakan aku ingin sendiri, sementara, aku tahu kesendirian adalah luka yang teramat perih.

malam kian memanjang, sapamu kembali hilang, lindap di bawa angin. dan kini kutahu, tak ada yang abadi tentang kau dan aku, selain ingatanku tentangmu.


Bekasi.

Senin, 25 Oktober 2010

Menungumu


Di setiap pagi setelah kepergianmu, kuganti secangkir kopiku dengan segelas susu, agar ketika kau kembali, masih ada aku di sini, menungumu..

Label Harga

Dan aku mulai menghitung seberapa banyak cinta di dadaku, setelah kulihat cintamu terpajang di etalase dan berbandrol harga.

setelah cukup kukumpulkan uang untuk menebus cintamu yang berlabel harga, akupun bingung untuk memilih warna, tak ada warna merah yang kusuka, hanya ada warna putih, hitam dan abuabu, warna yang tak ada gairah kehidupan, kosong.

akhirnya, kutentukan untuk memilih warna puith, yang begitu suci katamu, tapi, sungguh tak kutemukan kehidupan dan gairahnya, hingga harus kupikir ulang kembali untuk membeli cintamu.

Tak Tercatat

kelak, ketika kau berjanji setia kepadaku
jangan kau ucapkan, cukup kau tuliskan saja
karna bahasa ucap tak pernah meningalkan jejak
hingga aku tak bisa menagih apaapa kepadamu

di perkataan terakhirmu, kau tinggalkan tanya
serupa kata yang selalu kau ingkari dan merubahnya menjadi aku
bukankah telah kucatat di dadaku?
kau pun tahu itu, tapi, kita samasama bengal
khianati semua telah terucap dan memilih melupa dan dilupakan

lalu, ketika waktu beranjak menjauh
menghitung jarak diantara janji
kita mulai menghitung seberapa besar rindu dan dendam
mempermainkan catatan kecil di hatiku dan mu
tentang kenangan, yang selalu menjadi jalan buntu untuk memilih langkah
akhirnya, kita kembali menagih apa yang tak pernah tercatat.

Jumat, 22 Oktober 2010

karena Aku Mencintaimu

; Linie Maharani

karena aku mencintaimu
maka tak ingin kubuatkan sangkar
terbang tinggilah, kepakkan sayapmu
beritahu dunia keindahan warnamu

karena aku mencintaimu
sesempurna purnama malam ini
kesempurnaan yang abadi
dan tempat segala kecantikan mengembara

karena aku mencintaimu
lebih dari apa yang kau ketahui
tentang cinta
tentang rindu
tentang mimpi
yang hidup di dadaku
yang mengatur detak di jantungku

karena aku mencintaimu
seperti anak kecil yang merindukan air susu ibunya
seperti nyanyian para bidadari surga
seperti aku dan diriku

kaulah puisi yang ingin kupeluk
begitu erat, seperti memeluk hatiku sendiri
karna aku mencintaimu...


Bogor,

Selasa, 19 Oktober 2010

kau tahu?

kau tahu?
di setiap detak jantungku ada namamu berdetak.
dialiran darahku ada jiwamu mengalir.
lalu, kenapa tak kau indahkan resah?
akulah sang penunggu, menunggumu didetik risau senjaku.
janganlah bertanya sampai kapan?
karena akan kutunggu sampai senja tak lagi merupa luka.

tak perlu

tak perlu kita kisahkan lagi masalalu, biarkan tertempel di dinding
ingatan, luka telah menjadi sejarah, sebagai pengantar keberadaan saat ini

tak perlu kita ungkit risalah luka, biar mengering dengan sendirinya, tanpa kemunafikan, sebenarnya kita samasama kalah

dan tak perlu kita pecundangi waktu, kitalah yang memilih,
pilihan yang merupa sungai yang mengalir ke muara dan tak pernah berpulang ke hulu

Sabtu, 16 Oktober 2010

Tak ada tempat yang lebih gelap daripada hatiku

tak ada tempat yang lebih gelap daripada hatiku
dimana kesendirian menjadi berhala
meminta sesembahan dari airmata dan jiwaku
kekosongan membuat terowongan gelisah yang begitu panjang di dadaku
pun angin hanya selintas lewat dan menghilang
ada cahaya kecil di ujung sana
kulangkahkan kaki namun tak pernah sampai
tak ada yang berubah
kecuali sunyi yang semakin bising
fatamorgana diri

tak ada tempat yang lebih gelap daripada hatiku
dimana sejuta sayatan pedih membekas
kenangan terus menghujam dalam
ranting tak berdaun
bungga yang tak pernah mekar
kemarau yang tak berakhir
setelah seribu tahun hujan tak mampir

mencumbui sepi, membuatku terbiasa akan pencarian
kekasihku, kudengar suaramu di kegelapan
terus kucari hingga waktu tak lagi berdetak
tapi, hanya hatiku yang kutemukan
dimana kesendirian menjadi berhala.


Bekasi,

Selasa, 12 Oktober 2010

Buah Nangka

Buah nangka
Paling enak di gulai
Tak kusangka
Ternyata dirimu jablay..


Sebuah pantun *slengean yang kulihat di spatbor belakang sebuah motor waktu di tengah kemacetan jalur puncak, tepatnya di daerah ciawi, sepertinya memang untuk sebuah pantun untuk lucu-lucuan saja, tapi entah mengapa sepanjang perjalanan katakata itu melekat di otakku, seakan terus mengelitik pikiranku. Menurutku, mungkin bukan hanya sekedar lucu-lucuan tapi lebih tepat menjadi sebuah sindiran akan pergeseran norma yang terjadi saat ini, begitu banyak kulihat kejadian dan cerita-cerita saat ini tentang betapa sebuah kesetian itu tak begitu berharga lagi, saat ini begitu mudahnya sebuah hubungan terkhianati. Lalu, masihkah cinta itu dilandaskan kesetian atau memang kata cinta itu sudah menjadi begitu murahan seperti kesetian yang hanya menjadi pemanis bibir.
Di tengah pergolakan pikiran tentang pantun *slengean dan kata setia, aku ingat beberapa temanku pernah bercerita tentang hubungannya. Salah satu temanku pernah bercerita bahwa dia dulu pernah setia kepada pasangan hingga waktu yang cukup lama, padahal di tengah perjalan hubungannya pasangannya pernah beberapa kali mengkhianati hubungan mereka, tapi, setiap kali pasangannya meminta maaf, ia selalu memaafkannya, padahal kejadian itu berulang sampai beberapa kali. Pernah aku tanyakan alasannya kenapa dia bisa memaafkan pasangannya padahal sudah beberapa kali dia mengkhianati hubungan mereka, temanku menjawab bahwa pasangan berwajah lugu dan ia yakin bahwa ia tak akan mengulanginya lagi, tapi, kejadian itu tetap berulang kembali, hingga akhirnya ia memutuskan untuk benar-benar berpisah dan temanku akhirnya memutuskan untuk mencari tahu kenapa pasangannya begitu sering mengkhianatinya, sehingga dia memutuskan untuk memacari banyak wanita dan mengobral kata cinta dengan mudahnya tanpa memperdulikan sakit hati wanita yang ia khianati dan ia begitu menikmati peran itu, pernah dia mengatakan padaku bahwa ia sedang memangungkan sandiwara di kehidupan nyata. Tapi, syukurlah saat ini ia sudah sadar dan memutuskan untuk mengakhiri semua hubungannya dan menunggu hadirnya satu orang wanita, lalu ia akan menikahinya.
Dan pernah juga satu orang temanku yang lainnya bercerita tentang kisah cintanya, dahulu ia adalah seorang *player dan berpacaran dengan banyak wanita, hingga dia bertemu dengan seorang wanita yang ia anggap wanita sangat baik walau dengan latar belakang yang cukup hitam, mungkin pertama kali dia memutuskan untuk berhubungan dengan wanita ini hanya sekedar iseng saja, tapi wanita ini mampu membuat dia benar-benar jatuh cinta hingga ia memutuskan untuk hanya berhubungan dengan wanita ini dan setia kepadanya, namun sekali tak ada yang benar-benar indah di dunia ini, dimana kebahagian sepertinya mulai akan kita gapai saat itulah kepedihan dan kesakitan mulai memainkan peran, disaat dia benar-benar jatuh cinta dan ingin menikahi wanita ini, saat itu juga dia mengetahui bahwa wanita yang mulai sangat ia cintai adalah seorang player dan ternyata lebih ahli daripada dia.
Mungkin di zaman yang serba cepat ini, orang-orang lebih melilih untuk sesuatu yang mudah dan tidak terlalu menyusahkan, sehingga memilih kebahagian sesaat daripada menjaga kesetian yang mungkin terlalu susah untuk dijaga. Namun, terkadang kita lupa, kecantikan raga hanya sementara dan kemudaan bukanlah waktu yang panjang. namun terkadang kita bertindak seakan-akan selalu abadi, bukankah yang abadi hanyalah cinta, lalu, mengapa kefanaan dan penyesalan yang kita pilih?
Mungkin memang saat ini cinta dan kesetian hanya polesan di bibir bukan ketulusan rasa di hati. Dan juga mungkin cinta sejati itu hanya milik negeri dongeng dan cerita legenda-legenda, lalu, bagaimana dengan segelintir orang yang masih menginginkan cinta itu pada tempatnya, dimana cinta itu adalah ketulusan rasa dengan perbuatan kesetian.


*slengean : bahasa untuk sesuatu yang tidak serius atau asalasalan
*Player : sebutan untuk playboy dan playgirl.


Bogor.

Selasa, 05 Oktober 2010

Mengenangmu

mengenangmu, di jeda
ruang tunggu hadirkan berupa-rupa rupa
memilah wajah makin resah
setiap kisah kian samarkan wajah
entah di bangku nomor keberapa wajahmu kembali hadir

aku mulai melupa
ketika malam kau melangkah keluar
dari jantungku yang tak lagi berdenyut
kau atau aku, akhirnya menutup pintu

kenangan adalah kefanaan ingatan
tentangmu, tak lagi abadi
terkadang hanya sunyi yang beri arti
ketika aku lelap dalam ketaktiduranku
ketika ingatan kembali mengenangmu
aku tersenyum, dan jantungku tetap berdenyut.





bekasi,

Minggu, 03 Oktober 2010

Aku Lelaki

aku lelaki yang disalib nasib di padang gersang
dipaku tubuh waktu yang memaku harapan
ditelanjangi mimpi dan di bakar panas matahari
yang beku ketika malam menghampiri
menasbihkan kesendirian sebagai kekasih

aku lelaki yang membelah perasaan
samudera kesendirian tanpa batas
sebagai jalan untuk pelarian
dan waktu menjadi kawan perjalanan
diantara gelombang dan arus
kularungkan airmata di sungai yang mengalir ke samudera tanpa batas

aku lelaki yang menaiki perahu
berlayar mengarungi setiap kelelahan jiwa
di antara badai dan ombak kehidupan
engkaulah kekasih yang mejadi arah
yang merupa bintang-bintang di gelap malam
yang merupa mimpi tak pernah nyata

aku lelaki yang memujamu dengan nyanyian
menyusun kitab airmata
dari luka yang nganga
dari setiap tetesan darahnya adalah tinta
maka tertulis kisahmu, kekasih
kisah abadi tentang ratapan-ratapan jiwa

aku dan bulan

aku dan bulan kekasihku
ini malam kami bercinta
lepas rindu yang seluruh
cantik nian dia punya rupa
datang selalu di gelap bersahaja

jarak pengukur rindu
tentang kekasih, aku meragu
di remang nasib yang entah
akulah pecinta yang kalah

kepadanya. tak ada kata terucap
hanya sepangal puisi yang tak jadi
tinggi memang aku punya harap
tentang cinta harus memiliki

ahh, malam kian menghitam
dan sepi semakin jahanam
bulan kekasihku. datang selalu di gelap bersahaja
sebentar saja dan hilang untuk selama

Peran Terakhir

pada petemuan terakhir itu
kita sibuk memainkan peran
aku memilih menjadi langit
dan kau memilih menjadi bumi

kuberikan sinar yang terang
dibaliknya panas membakar dadamu
alih-alih menyuburkan benih yang kautanam
namun, kemaraukan rahimmu

kauberikan kesejukkan di mataku
dibaliknya tandus menyeruak bibirmu
memekarkan putikputik bunga
namun, layu tak berkembang

entah, sudah keberapa dalam sandiwara percintaan
kita memainkan peran tawa dalam luka
memakai topeng sembunyikan wajah
wajahmu
wajahku
dan wajah luka

kita mulai menghitung durasi
ketika benci semakin memaki
dan rasa tak lagi menari
karna tak ada mimpi yang abadi

mari kita sudahi saja pesta ini
panggung tak lagi mampu
topang dendam yang sudah membelati
di dadamu dan aku

inilah akhir,
tanpa tepuk tangan penonton
tanpa soraksorakan kemenangan
hanya hati kita yang riuh
diantara detak jangtung bergemuruh
mari, kita sudahi saja pesta ini.

Rabu, 22 September 2010

:)

‘kepada pacarku, maaf aku kalah dari pertarungan ini, dan aku memutuskanmu’

yang hidup tanpa detak; lukamu

Pada keabadian perpisahan
Perjumpaan adalah kefanaan ingatan
ketika kenangan merupa hujan
yang datang tak kenal musim

airmata meluruskan arti luka
pelarian gemuruh kebimbangan
dan hati terlalu bisu untuk diam
dan jiwa terlalu riuh untuk berkata

ada bekas bibirmu dan aku
mengecup pedih yang tumbuh mekar di taman hati
selepas percintaan kita terakhir
kutanam benih luka di rahimmu

jika kelak ia lahir
jangan kau mandikan dengan airmata
tersenyumlah kekasih
karna ialah kekuatanmu; hatimu

dan tak perlu kau ceritakan tentangku padanya
aku adalah debu ketiadaan
yang mampir
yang terbuang
yang hidup tanpa detak; lukamu



bandara sepingan.

Minggu, 19 September 2010

Tiga wanita di dalam hidupku

Wanita pertama adalah malam
wanita bergaun hitam
yang ajarkanku arti luka dan sepi
di balik cadar wajah merupa belati

wanita kedua adalah siang
bergaun emas berkilau terang
yang ajarkanku kesombongan
indah luar, dalamnya kekosongan

wanita ketiga adalah diantara malam dan siang
menunggu selalu untuk pulang
yang ajarkanku kepasrahan
dan arti ke-tiada-an.



balikpapan. 20/09/10



Jumat, 17 September 2010

Tubuh Langit

; YRT



Perjalanan adalah pencarian gumpalangumpalan ingatan
dan menyulam kembali menjadi harapan .

melewati tubuh langit
kutitip benih cinta di dadanya
mekar menjadi awan rindu
yang menghujani *halaman rumah-mu.





*Halaman Rumah; judul puisi Yayan R Triansyah





angkasa (Soekarno Hatta - Sepinggan). 17/09/10

Minggu, 12 September 2010

Setelah Percintaan Terakhir

Setelah percintaan terakhir, kita saling menghafal wajah sebelum punggung saling membelakang, guratkan kenangan di dinding kamar yang tak lagi berpenunggu, dan kita samasama mengeja lupa.

waktu mengajarkan kita menabuh genderang perang, akan silangsengketa rasa yang entah. menimbun luka di muara tak bersamudera, mati, tak mengalir. ini luka siapa, bahkan kita tak tahu apaapa, tentang dada kita yang menjadi medan peperangan.

setelah percintaan terakhir, pun kita merindu dalam diam, diantara hingar amarah, dan pesata-pesta topeng kemunafikan, sebenarnya kitalah samasama kalah.



Beny Fauzan
bogor 13/09/10 9:22

Rabu, 08 September 2010

"MOhON MAAF LAHIR BATHIN."

Aku manusia
selalu ada khilaf dan lupa
kadang laku lisan goreskan luka
tak atau sengaja

pandang kadang tak memandang
tubuh tak saling menyentuh
membiaskan kesombongan sangka
dalam kata yang mungkin dusta

aku manusia
jauh dari sempurna
tempat semua cela
dan juga segala kesalahan

"MOhON MAAF LAHIR BATHIN."

Mewangilah

kupenjarakan kau di pikiran dan hatiku
tak lepas, di harihariku
rindu ini milikmu
seperti malam dan bulan
langkah yang berjalan menujumu
bagai kerinduan bayi terhadap air susu ibunya

menikmati setiap percakapan hati
aku ingin di pelukanmu
menandang indah wajahmu
aku ingin memelukmu

malam ini, kutulis surat ini
ketika pagi mulai menjelang
sayup sapa angin
dan lembut embun mulai basahi kering hatiku

engkaulah bungga yang mekar di hatiku
mewangilah
mewangilah

Hujan Menderas di Matamu

sekali lagi senja guratkan perpisahan
resah tumpah di jingga merah
di angkasa kawanan walet menarikan ritual gundah
dan angin bawa dirimu pergi, entah.

sore ini, seribu wajah memainkan peran
aku musafir yang mengetuk pintu dunia
cari jejak yang kau tinggalkan
ketika aku lupa arah kepergianmu

inikah kata yang kau ucapkan
di malam aku, menjadikanmu aku
di bintang kita titipkan mimpi
saat nyata mulai tertidur lelap

lalu hujan menderas di matamu
kita menari di digigil rasa
di rinainya ku bisikkan puisi
tentang hujan di kisah kita









bekasi, 4/09/10 17:03

Senin, 30 Agustus 2010

Bidadari Hati

Malam menyimpan seribu rahasia tentang hati, tentang luka, tentang cinta, tentang kita. dan juga tentang ketakberanian untuk mengakui rasa di dadaku dan mu.



Bidadari Hati.




lewat parau suara angin malam

kubisikkan kata “kau bidadari hatiku.”

Terselubung gelap kata tak terucap

Makna sisakan harap yang kian lelap



Sengketakan rasa

Tentang pantas atau tak

Kita samasama meluka

Ketika fajar sirnakan harapan



Menyusuri remang-remang malam

Warna-warni bermunculan

Kunang-kunang

Dan rinduku mewarnai matamu



Mungkin kau tak percaya

Tentang rasa yang aku katakan

Jadi, kututup puisi ini dengan jujur

bahwa kau bidadari di hatiku.



Planet Senen

Kamis, 26 Agustus 2010

Sebuah Surat di pinggir kali.

Oleh : F. Pratama Fauzan

Biasanya gambaran dari sungai adalah air yang jernih, beriak mengalir, ikan-ikan kecil yang berenang kesana-kemari, berlawanan dengan apa yang sedang ada di depanku, air yang kotor, tak ada ikan yang hidup kecuali mungkin satu jenis ikan, yaitu ikan sapu-sapu, tak ada riak karena airnya telah dangkal oleh sampah-sampah sisa pembuangan sembarangan yang tak terurus dan berwarna kehitaman. Mungkin inilah gambaran dari keputusan yang telah ku ambil, dimana keputusan adalah aliran sungai yang mengalir ke muara tanpa pernah bisa berpulang ke hulu, sementara kotor dan sampahnya adalah gambaran dari resiko yang harus kutanggung dari sebuah keputusan yang salah.
Sudah tiga bulan belakangan ini aku tinggal di sini, di bawah kolong jembatan di pinggiran kali ciliwung , tepatnya sejak penyakit ini semakin mengerogoti tubuhku, tak terhitung biaya telah kukeluarkan bahkan tabungan yang telah kukumpulkan, tak ada yang bersisa, tak ada teman, tak ada saudara, tak ada siapapun yang aku kenal di sini, hidup dalam penyesalan dan kesendirian, hari ke hari hanya meratapi nasib.
Panggil saja aku Nadya, karena nama inilah yang aku pakai selama sepuluh tahun belakangan ini dan biarkan kalian mengenalku dengan nama itu saja, untuk nama asliku tak mungkin aku sebutkan, dikarenakan di belakang nama asliku ada nama keluarga yang mengikuti dan tak mungkin kubuat mereka malu dengan apa yang telah aku lakukan, cukup aku saja yang menangung semua ini, akibat dari keputusanku sendiri. Aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana di kampungku, tak kekurangan dan tak juga berlebihan. Bicara tentang masalalu aku sangat merindukannya, kampungku, hidup sederhana dan damai, dan juga ingatan tentang seseorang yang begitu mencintaiku dengan tulus, Indra, sebut saja seperti itu, seorang pemuda desa yang sederhana, jujur dan lugu, ahh, betapa aku merindukannya dengan sangat. Seandainya saja waktu bisa diulang aku akan bersedia hidup di kampung dengannya tanpa mengetahui kehidupan kota dengan kekejamannya, aku rela, tapi, nasi telah menjadi bubur.

***

Ceritaku bermula dari dua belas tahun yang lalu, ketika aku baru menamatkan sekolah menengah tingkat atas di desaku, terbesit di pikiranku untuk melanjutkan ke bangku kuliah di kota Jakarta, tapi, keadaan orang tuaku tak memungkinkan untuk melanjutkan, dan tak tega juga hatiku untuk memaksa mereka, karena masih ada tiga adikku yang masih bersekolah. Sebagai anak pertama aku sangat mengerti keadaan itu, apalagi waktu itu sedang terjadi krisis moneter di Indonesia dan akhirnya berpengaruh juga terhadap perekonomian keluargaku.
Enam bulan berlalu sejak kelulusanku, impian masih melekat di dadaku untuk bisa melanjutkan kuliah dan mengadu nasib di ibukota Jakarta, seperti yang aku lihat di sinetron-sinetron televisi, dimana kehidupan Jakarta sangat indah dan mewah. Dengan wajahku yang cantik, bukan karena aku percaya diri, tetapi, teman-temanku banyak yang mengatakan seperti itu, bahkan mereka menjulukiku dengan sebutan kembang desa, sangat banyak juga pemuda-pemuda desa yang tertarik denganku dan mereka berusaha dengan keras untuk menjadi kekasihku, tapi, sejak kelas tiga SMA aku telah jatuhkan hatiku kepada seorang teman sekolahku, Indra, ya, seorang pemuda yang baik dan sangat jujur. Sudah satu tahun kami berpacaran dan tak pernah ia membuatku marah. Dia selalu memberi semangat untukku, tapi satu yang tak pernah ia setujui, ialah cita-citaku untuk pergi ke Jakarta. Aku menerimanya saat itu.
Hingga suatu hari seorang mahasiswa tingkat akhir dari sebuah universitas besar di Jakarta datang ke desaku untuk mengumpulkan data untuk skripsinya, ia mengamati sistem perairan sawah yang kami gunakan dan membantu memperbaiki saluran irigasi itu. Memang, ia cukup pintar dan mampu membantu warga desa dalam perairan sawahnya, jadi desa kami tidak mengandalkan musim hujan lagi, karena aliran air sudah bisa di nikmati kapanpun.
Ya, nama mahasiswa itu adalah Adrian, ini memang benar nama aslinya, sengaja tak kusembunyikan nama aslinya, karena aku memang ingin orang-orang tahu siapa dia sebenarnya, agar setelahku tak ada lagi gadis-gadis yang mengalami nasib sepertiku saat ini.
Sebagai mahasiswa yang datang dari Jakarta, aku sering menanyakan kepadanya tentang Jakarta dan kehidupan masyarakatnya, dan bagaimana rasanya kuliah atau bekerja di sana, Adrian selalu menceritakan tentang keindahan kota Jakarta, hanya keindahannya saja, tak pernah kudengar dia berbicara tentang hal-hal yang jelek tentang Jakarta. Dan membuat impian yang sempat meredup kembali menyala di dadaku. Hari ke hari aku semakin akrab dengannya, hal ini membuat Indra cemburu dan melarangku untuk menjauhinya, ahh, seandainya saat itu aku mengikuti saran Indra mungkin keadaan seperti ini tak akan pernah ku alami, tetapi saat itu, aku tak pernah mendengarkan ucapan Indra, di dalam hatiku selalu mengatakan, mana mungkin tahu dia tentang Jakarta, dia hanya tahu tentang sawah dan ladang saja, sebuah kehidupan yang sangat membosankan, kata hatiku saat itu.
Seminggu sebelum Adrian mengakhiri praktek kerja lapangannya, dia tawarkan kepadaku untuk ikut bersamanya ke Jakarta dan mau menanggung biayaku selama di Jakarta, selama aku belum bekerja. Pertama kali aku menolak tawaran itu, tapi, dengan mulutnya yang manis dia terus merayuku, hingga akhirnya aku setuju ikut dengannya, juga di karenakan impian indah tentang Jakarta mulai membakar dadaku.
Aku berangkat ke Jakarta tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk kedua orangtuaku dan Indra, karena sudah dapat dipastikan mereka tak pernah akan mengizinkan. Aku dan Adrian bertemu di terminal antar-kota, karena memang Adrian tak ingin berangkat bersama-sama dari desa, yang kini baru aku ketahui alasannya, agar orang-orang desa tak menaruh curiga terhadapnya atas kepergianku dari desa.

***

Di Jakarta aku tinggal bersama Adrian di kontrakkannya, sebulan sudah aku di sini, Adrian memperlakukanku dengan begitu baik, ia juga menyuruhku untuk kursus bahasa inggris dan membiayai semua keperluanku, termasuk memberi uang jajanku perhari. Aku semakin terlena olehnya dan bayangan tentang orangtua dan Indra telah hilang di ingatanku.
Karena tinggal bersama dalam kontrakan, akhirnya kami menjalani kehidupan seks bebas, kami sudah selayaknya seperti suami istri tanpa surat nikah, yang rupanya kehidupan seperti itu di kota Jakarta sudah menjadi sangat biasa, malah sudah terlalu sangat biasa sepertinya, saat itu tak pernah ada kata menyesal di diriku dan dunia sepertinya memang begitu adanya, tapi, itu hanya sebuah kebahagian sementara saja, kebahagian di saat penyesalan masih menjadi belati yang sangat tumpul dan waktu terus mengasahnya hingga suatu hari nanti akan menjadi senjata yang sangat tajam untuk menyayat setiap detik dalam kehidupan yang akan terjalani.
Waktu terus berlalu, tak terasa sudah enam bulan aku di sini, dan juga mulai kurasakan akan perubahan sikap dari Adrian, dia menjadi kasar, sangat perasa dan suka marah tanpa alasan, dan rupanya itulah sifat aslinya. Hingga akhirnya tiba pada hari yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, hari dimana Adrian menjualku kepada seorang germo seharga sepuluh juta rupiah. Ya, mungkin manusia sudah tak punya rasa, sehingga sudah jadi barang dagangan, dimana sistem perbudakan telah dihapus ratusan tahun yang lalu atau mungkin ribuan tahun yang lalu, tapi sepertinya itu hanya sebuah aturan yang tertulis saja, karena pada kenyataannya saat ini masih banyak terjadi perdagangan manusia.
Sejak saat itu tak pernah kulihat lagi keindahan Jakarta, nasibku menjadi seperti sapi perahan saja, setiap hari hanya melayani nafsu para lelaki hidung belang, aku memasuki dunia pelacuran tingkat atas, di karenakan kecantikanku dan keindahan tubuhku, banyak tamu yang menjadi pelangan, semuanya adalah orang-orang penting dan semuanya adalah orang kaya, tidak jarang juga para pejabat negara membokingku untuk menemani perjalanannya, para pejabat yang di televisi kulihat selalu bicara tentang kebenaran dan nasib rakyat, aku selalu tersenyum pahit ketika kulihat mereka di layar televisi.
Aku tidak tinggal di kontrakan bersama Adrian lagi, sejak dia menjualku tak pernah sekalipun aku bertemu dengan dia lagi karena tak pernah ingin kulihat wajahnya lagi, sudah terlalu besar dendamku kepadanya, sekarang aku tinggal di sebuah apartement di daerah kemayoran, seiring dengan pekerjaanku gaya hidupkupun ikut berubah, sebagai pelarian dari penderitaan di hatiku, akhirnya aku mulai suka mabuk-mabukkan, hari-hariku hanya di isi dengan melayani pelangan-pelanganku dan pesta-pesta di klub malam.
Tujuh tahun ku jalani hidup seperti itu hari ke hari, hingga suatu hari aku di diagnosa terkena penyakit, sebuah penyakit sampai saat aku menceritakan ceritaku ini, belum ditemukan obatnya, penyakit yang di sebabkan oleh penularan seksual ketika hubungan intim dengan berganti-ganti pasangan, mungkin aku ditulari oleh salah satu pelanganku, dikarenakan tidak semua dari pelanganku mau mengunakan alat kontrasepsi kondom ketika berhubungan, tidak enak kata mereka.
Setelah mengetahui aku terjangkit penyakit itu, germoku tak mau mengurusiku lagi, malah dia mencampakkanku seperti seorang yang tak punya arti sama sekali, padahal tak sedikit uang kuhasilkan untuknya selama aku menjadi pelacurnya, tapi inilah kehidupan, di dunia yang ku geluti saat itu, jika seseorang sudah tak bisa menguntungkan lagi, dibuang begitu saja.
Sempat beberapa kali aku menjalani pengobatan dan rehabilitasi, tapi semua itu tak ada yang dapat menyembuhkan penyakitku, malah menguras habis uang yang sempat aku tabung dan tak menyisakannya sama sekali. Sedikit demi sedikit tubuhku berubah, daging yang dulu menempel di badanku pergi entah kemana, seakan ikut jijik untuk melekat di tulangku, mukaku mulai terlihat seperti tua mendadak, aku menjadi hidup mengelandang, hidup dari belas kasihan orang-orang, tidur di sembarang tempat hingga akhirnya tak ada semangat di hidupku dan tak ada kekuatan untuk melanjutkan hidup lagi, dan belati penyesalan itu telah terasah dengan sangat tajam terus menghujam setiap sisi di hatiku, dan semua kejadian itu mengantarkan aku ke pinggir kali ciliwung ini.

***

Kembang desa ini telah tumbuh menjadi kembang hitam yang tak lagi wangi, sehitam kali di depanku. Belati itu terus menyayat tipis setiap sisi hatiku, tak ada lagi kekuatan dan semangat untuk menghadapi dunia ini, aku telah kalah, benar-benar kalah.
Dengan sisa kekuatan di hati, walau sebenarnya aku tak pantas untuk mengucapkannya, aku ingin meminta maaf kepada kedua orangtuaku, bukan kalian yang salah mendidik, tapi akulah yang salah melangkah.
Dan untuk laki-laki yang mencintaiku dulu, Indra, semoga engkau bahagia dan menemukan seseorang yang mencintaimu, dan cintailah wanita itu seperti kau mencintaiku dulu, dan sungguh aku tak pantas untuk mendapatkan cintamu.

***

Kutulis kisah perjalanan hidupku ini tanpa bermaksud apa-apa, hanya inginku, tak ada lagi wanita yang terjerumus sepertiku, hanya karena keinginan, kita buta akan yang lain. Terkadang, karena sebuah keinginan berlebih akan “sesuatu” kita lupa bahwa kita sebenarnya telah memiliki “sesuatu” yang terbaik di hidup kita.

Siapapun yang menemukan surat ini, sungai ini telah membawaku ke muara, ke akhir hidupku, ke akhir penyesalanku.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Menjadikanmu Aku

Mengingatmu, ada angan tak berkesudahan

Rindu terkebiri keadaan

Bunga mekar berguguran

Di ranting-ranting harapan



Mengingatmu, kata bersilangsengketa

Di dada gemuruh menegur nyata

langit lupa membaca tanda

Dan hujan turun di kelopak mata



Menjadikanmu aku, adalah laku tak berlaku

Tangan meraih diputus waktu

Terlambat,terlambat, terlambat

Ucapmu, ketika rasaku telah melekat erat



Tak pindah gunung

Tak surut laut

tetap setetap yang telah tertetapkan

Dan harap hanya kesia-sian jalan



Kau aku berdiri berseberangan

Bertatap dengan kesamaan rasa

Namun tangan tak mampu mengapai

Sementara hati terus terkhianati mimpi







bogor 20/08/10

Jumat, 20 Agustus 2010

Perjalanan Mengenang kenangmu.

Bekasi – Bandung. Jalan raya cianjur begitu lengang malam ini, hanya lampu jalan dan sesekali bis-bis antar kota menemani kesendirian perjalanan, terasa kadang angin sampaikan aroma wangi tubuhmu, sebentar saja, lalu kembali lindap di sampingku. Masih bisa kurasakan, pelukan tanganmu erat di pinggangku, seakan tak pernah ingin kau lepaskan, serupa cinta yang ada di dada kita. Namun takdir beri arti lain kepada harapan.
Vespa berjalan dengan kecepatan tak kencang, mengerti setiap pergelutan kenangan di ingatanku. Setiap jarak yang terlewat adalah kebersaman kenang, tertawa dan menangis dan debu jalanan yang terlipat rapi di kantong saku jaketku sebagai tanda engkau ada bersamaku. Sayang, ingatkah kau waktu kita memilih warna untuk vespa ini? Kita pilih warna putih dan biru karena biru adalah warna kesukaanmu dan putih adalah tanda kesucian cinta kita, tapi kita binggung untuk warna biru mana, ternyata terlalu banyak jenis warna biru, hingga suatu hari kita lewat di depan kuburan dan menemukan pecahan keramik dari salah satu makam kawanku, biru laut muda, ya, akhirnya kita setuju dengan warna itu. Saat itu, aku melupa bahwa itu adalah pertanda kepergianmu.
Malam telah beranjak dewasa ketika aku memasuki kota Bandung, se-dewasa pedih yang tumbuh subur di hati, ketika kesunyian tak mampu mengajarkan arti kegaduhan sementara kenanganmu tetap abadi di dada. “ aku mencintaimu, mencintai segala yang telah ada, yang baru, yang kau ajarkan padaku, dan di sinilah aku untuk pertama kali, memandang kota dan mu.” Masih kuingat dengan jelas kalimat yang pertama kali kau ucapkan untukku dan kota ini, dan untuk pertama kali juga kau pecahkan keperawanan kota Bandung di perjalanan hidupmu.
Waktu terus berdetak dan roda terus berputar, Meninggalkan semua dan menjadikannya kenangan. Udara malam terasa begitu dingin menusuk ke badan, tapi, ingatan tentang dirimu yang membuat hatiku beku. Dari tempat ini, Lembang, lampu-lampu kota tampak menari-nari, rerimbun daun teh seakan menyimpan abadi kenangan kita, rapat, hanya kau dan aku yang tahu dimana tersimpan, hati kita. Di sini, kita pernah menikmati segarnya udara perbukitan, memanaskan badan dengan segelas wedang jahe dan jagung bakar, mengunyah kehidupan dalam bahagia dan tawa, senyummu selalu menjadi purnama tak berkesudahan, malam itu.
Hujan mulai mengumbar kerinduannya akan bumi dan malam semakin tua di pelupuk mata, di keriputnya aku selipkan doa-doa kerinduan untukmu. Ingin sekali aku ikut berdansa di dalam hujan, ketika di derasnya hujan kulihat kau menari, seperti yang sering kau lakukan dulu, menari di dalam hujan, wajahmu begitu lugu, begitu gembira, dan kau tertawa bersamanya, dan aku suka melihat hujan dan tawamu. Udara semakin dingin dan hatiku semakin membeku.
Hujan selesai tepat setelah wajahmu memudar dan tarimu berhenti. Di depan penginapan yang dulu menjadi tempat kau dan aku mengakhiri malam, tempat kita saling menyentuh dan bertukar nafas agar terselaras detak di jantung , kita menyatu untuk pertama kali. sesudah itu, kau rebahkan mimpi dan citamu di bidang dadaku, dan kuletakkan semua di kepalan tangan, kuucapkan selamat malam dikeningmu, kau dan aku memiliki mimpi yang sama malam itu. aku hentikan vespa, merekam kembali semua itu di dada dan ingatanku.
***
Bandung – Bekasi. Kali ini arah kepulangan terasa sangat jauh, sejauh kepergian harapan yang telah kita ucapkan di kota ini, putaran roda vespa seperti tak beraturan, mengerti gundah yang telah menjadi dewa di pikiranku dan batas kota Bandung melambaikan tangannya sambil meneriakan kata-kata perpisahan yang terdengar begitu memuakkan di telinga. Aku suka kota ini dan aku suka kenangan indah bersamamu di kota ini dan aku benci ketika kenyataan mengharuskan berpisah dengan kalian.
Matahari sudah mulai mengurangi keangkuhannya, dan cahayanya tak begitu keras lagi menegur para pemimpi. Vespa terus melaju, liukan jalan di bukit kapur, Padalarang, mengingatkanku akan hidup yang tak selalu lurus dan tak selalu sesuai keinginan, setiap kelokan adalah irisan perih di hati, karena di sisi dinding bukit pernah kita tulis mimpi dan harapan, bahkan gambar wajahmu masih terlukis jelas di sana. Di sini pernah kita nikmati manisnya air kelapa muda, semanis kisah kita dahulu dan semuda kisah kita.
Jalan semakin menanjak dan menurun ketika aku sampai di daerah Jonggol, kanan kiri hutan membuat pemandangan yang begitu indah, mengingatkanku akan lembat rambutmu, tempat kau sembunyikan resahku dan di teduhnya hutan kutemukan matamu yang selalu saja mampu memberi harap ketika semangatku mulai lesap.
Roda vespa mulai semakin goyah ketika memasuki jalan Cicariu, di sebuah tikungan tajam kuhentikan laju roda dan kupakirkan vespa, sejenak aku berdiri menikmati pemandangan sawah di kanan kiri jalan, melihat petani menanam bibit-bibit harapan di sawah mereka, pemandangan yang sangat indah dan terasa sangat kontras dengan panorama di hatiku, selama lima tahun ini. Lima tahun sudah kuulang perjalanan ini di tanggal yang sama, setiap melakukan satu kali perjalanan ini, maka aku butuhkan satu tahun lagi untuk memberanikan diri melewati jalan ini, jalan yang dulu kita lewati bersama.
Badanku bergetar, kakiku seakan menancap ke dasar bumi, bulir-bulir airmata mulai deras membasahi pipiku, bukan karena aku cengeng, tapi, aku tak pernah sanggup menatap tempat ini, tempat terakhir kau di pelukanku. Di sini, lima tahun yang lalu, kau menghembuskan nafas terakhirmu dalam pelukanku, Masih ku ingat jelas kejadian itu, ketika dari arah berlawanan sebuah bis melaju dalam kecepatan tinggi, bis itu melaju dengan oleng karena sopirnya berkendara dalam keadaan mengantuk dan kita sedang menikmati pemandangan persawahan yang indah dan kebahagian canda diantara kita, ketika tiba-tiba kulihat bis itu melaju tepat kearah kita, sempat ku hindari bis itu, tapi, sebuah lobang besar di pinggir jalan yang rusak membuat kita terlontar, aku terhempas ke dalam selokan sementara kau tergelatak di tengah jalan, sempat kau berdiri namun seketika sebuah mobil sedan yang melaju dengan kecepatan tinggi menyambarmu dan membuatmu terpental ke pingir jalan, mobil terus melaju tanpa memperdulikan tubuhmu yang tergelatak, aku berlari kearahmu, memelukmu, menanggis, tapi kau sama sekali tak bergerak, terus-menerus kuteriakkan namamu berulang kali tanpa pedulikan sekitar kita, sempat kau membuka mata, memandang kearahku, merintih kesakitan, namun bibirmu tersenyum diantara darah yang keluar, sampai saat ini aku masih tak tahu apa yang membuatmu tersenyum waktu itu, dan waktu itu juga kau paksa bibirmu untuk mengucapkan sebuah kata yang tak pernah bisa kulupakan dan terus terngiang di telinggaku, “aku mencintaimu dan aku bahagia, terima kasih, sayang.” Kata terakhirmu di hembusan terakhir nafasmu.
Senja mulai melukis warna merah di ufuk barat, setelah kepergianmu entah kenapa aku tak suka ketika senja hari tiba, kulihat di merahnya isyaratkan luka dan perpisahan. Dari dalam tas kukeluarkan semua barang kenangan tentang kita, mengusap lembut semua, karena ku tahu tanganmu pernah singgah disana, orang-orang yang lewat memperhatikanku, meraba-raba apa yang aku lakukan di sini, tapi aku tak peduli karena kutahu kau ada di sini, di sampingku, mengengam tanganku.
“sayang, aku datang.” Ucapku, dan aku tahu kau mendengar dan menjawabnya, walau dalam bahasa sepi, bahasa angin yang lindap di telingaku.
“sayang, banyak hal yang terjadi lima tahun ini, ingin kubagi semua bersamamu, semua telah berubah, kecuali rasaku untukmu. Ketahuilah sayang, mereka seperti mengerti apa yang aku inginkan, tapi, sesunguhnya mereka tak pernah tahu, karena yang aku inginkan hanya bersama dirimu dan bersama dirimu. mereka bisa mengobati luka di ragaku, tapi, mereka tak akan pernah bisa mengobati luka di hatiku.”aku terus berkata, sementara airmata terus mengucur di pipiku dan aku tahu kau juga ikut menangis bersamaku.
“sayang, hari ini kubawakan semua barang kenangan tentang kita, kuletakkan di tempat terakhir kita bersama, terimalah, kuberikan semua barang kenangan kita bukan untuk melupakanmu, karena kau telah abadi di hatiku, selamanya.” Ucapku sambil meletakkan barang kenangan itu di tempat terakhir kita bersama.
“sayang, ini terakhir kali aku menemuimu, sungguh, bukan untuk melupakanmu, tapi, hidup terus berjalan dan aku tak bisa selamanya terdiam akan kenangan kita, karena hidup bukan aku dan kau saja, ada kebahagian orang lain yang berhubungan dengan diri kita dan itu orang tuaku. Sayang, orang tuaku telah memilih seseorang untuk menjadi pendamping hidupku, mereka bilang aku akan bahagia, tetapi sesunguhnya mereka tidak pernah tahu bahwa kebahagianku telah mati bersama kematianmu.”
“aku mencintaimu dan aku bahagia, terima kasih, sayang.” kudengar halus suara angin di samping telingaku seakan kau menjawab kata-kataku.
Malam baru saja terlahir dari rahim hari, vespa berjalan pelan meningalkan jalan Cicariu, meninggalkan semua kenangan kita dan sepi mengambil alih hidupku untuk selamanya.


Beny Fauzan
Bogor, 20/08/10

Rabu, 18 Agustus 2010

Cinta Nyata


Kau wanita yang telah menjadi sundal di hatiku

Memperkosa setiap ingatan di hariku

Yang setubuhi setiap hembusan dan tarikan di nafasku

Hingga orgasme dalam kata; AKU CINTA KAU




Sengaja tak kutulis puisi romantis kali ini untukmu, sebagai pengingat nyata.

Lihatlah, sayang. Di perempatan lampu merah dan di bawah kolong jembatan, anak kecil bertelanjang kaki menertawai luka, membilas badan dengan airmata, setelah debu jalan hinggap di nasib mereka. Tak ada tempat untuk bermain, karena tanah lapang hanya salahsatu bidang di dada mereka. Dan itu, anak kita.

Untukmu, Kutegaskan! Bukan tak mampu kutulis puisi puitis romantis.

Tapi, cinta adalah nyata, nyata adalah lingkaran bulat di pinggir luka, di luar mimpi dan di dalamnya nestapa.


Beny Fauzan
Planet Senen 19/08/10

Selasa, 17 Agustus 2010

Juliet

"Juliet, akulah yang membunuh Romeo. Aku mencintaimu, seperti kau mencintai puisi-puisi kekasihmu, puisi yang dia curi dariku."



Pagi di beranda rumah kita. Kulihat kau tersenyum, senyummu, selalu saja mampu meredakan semua hal di dadaku, sambil kau mengurusi taman di depan beranda rumah yang di penuhi bungga-bungga mekar dengan berbagai warna, seperti cinta yang terus mekar di hati kita atau hanya mekar di hatiku saja, entahlah. Kulihat engkau bahagia ketika mengurusi taman ini, kau memang menyukai keindahan taman ini selain kau juga sangat suka dengan puisi yang selalu kucipta dan kubacakan di malam-malammu.

Tak terasa satu tahun sudah kita bersama, tertawa dan bahagia. Membangun sebuah keluarga, membuat kehidupan baru,kehidupan kita berdua, jauh dari orang-orang yang mengenal kita, atau lebih tepatnya, melarikan diri dari mereka.

***

Aku ingat, ketika dua tahun yang lalu kau datang ke desaku, di karenakan usaha orang tuamu bangkrut di kota. sebagai gadis yang cantik dan gadis kota, hampir semua pemuda di desa ini tergila-gila dan ingin menjadi kekasihmu, dan aku salah satu dari mereka, juga termasuk sahabatku.Tapi, bukan itu yang membuatku jatuh hati kepadamu, kecantikan tingkah lakumu yang begitu mempesonaku.

Mulai saat itu aku seperti keranjingan untuk menulis puisi untukmu, sebagai penganti ungkapkan hatiku yang tak pernah berani untuk kukatakan secara langsung, tepatnya, aku menjadi pengagum rahasiamu, seperti tak pernah habis akal di otakku untuk mengirimkan lembaran-lembaran puisi yang ku tulis agar selalu sampai kepadamu tanpa pernah kau ketahui siapa penulisnya, karena memang tak pernah berani aku menuliskan nama di lembar itu. Sampai satu saat aku mendengar sahabatku mengakui, bahwa dialah penulis puisi itu.

Ya, sahabatku adalah lelaki yang mungkin sangat pantas untuk kau jadikan kekasihmu, sebagai anak bupati, dia menjadi orang terkaya di desa, dia punya segalanya, kecuali satu, puisi. Dan tentu orang tuamu dengan sangat setuju menjadikan ia menantunya. Tapi, aku tak pernah bisa menerimanya, sebagai seorang sahabat dari kecil, aku tahu siapa dia dan kebohongan-kebohongan di dirinya.

Sebagai sahabat dari kecil, aku sangat mengenalnya. Aku ingat, beberapa kali aku pernah di ajaknya ke tempat lokalisasi pelacuran di desa tetanga, di sana dia sangat terkenal, setiap wanita selalu ingin diajak tidur olenya karena sudah dapat dipastikan akan mendapat uang yang banyak. Sebagai lelaki aku tak akan munafik untuk tidak mengakui bahwa terkadang aku suka ke tempat ini, terkadang suka meminum minuman keras, secukupnya, suka melihat wanita-wanita yang ada di tempat ini, tapi hanya sebatas itu, karena untuk tidur dan bercinta dengan seseorang tidak hanya menggunakan nafsu tetapi yang paling penting adalah menggunakan perasaan, dengan bercinta dengan perasaanlah kita bisa mendapatkan kenikmatan yang benar-benar nikmat. Percintaan tak hanya sekedar pertemuan dua kelamin, tapi lebih dari itu, bercinta adalah penyatuan dua rasa cinta yang di lebur dengan kasih sayang, belaian dan sentuhan atas perasaan di hati. bercinta bukan saja sentuhan fisik tapi sentuhan jiwa.

***

Enam bulan berlalu sejak kau menjadi kekasih sahabatku dan memutuskan untuk bertunangan dengannya, mungkin atas desakan orangtuamu, Tentu, orang tuamu punya kepentingan atas pertunanganitu. Di tengah acara pesta pertunanganmu, kulihat bibirmu tersenyum, tapi tidak dengan matamu, kulihat kekosongan disana, tak ada binar-binar yang biasanya memancar dari kedua bola matamu, sebuah binar harapan dan kegairahan hidup.hari ini mata itu kosong, seperti matinya sebuah harapan. Melihat semua itu,hatiku seperti ikut mati, seperti matinya puisi-puisiku yang tak pernah sampai lagi ke dirimu, ya, sejak kau memutuskan untuk menjadi kekasih dari sahabatku, aku memutuskan untuk berhenti menulis puisi untukmu, atau mungkin itukah yang membuat binar-binar di matamu menghilang? Aku tak tahu pasti.

Namun, sejak hari itu, akuberniat untuk mencari seorang dukun yang telah menjadi legenda di tempat kita, seorang dukun yang sangat sakti menurut kabar orang-orang, seorang dukun yang hidup menyendiri di dalam hutan, dan tidak di ketahui dimana tempat pastinya dia tinggal. Seminggu lebih aku menggarungi hutan belantara ini, bergelut dengan dingin dan lelah, keluar masuk gua, tapi tak kunjung kutemukan. Dan ketika semangatku semakin luntur, pandangan kosong matamu di hari pertunanganmu, membuatku kembali bangkit dan berjanji akan terus mencari dukun itu hingga ketemu. Jujur, aku tak akan pernah mampu untuk memandang kesedihan di wajahmu, apapun itu akan kulakukan untuk membuat senyum selalu terhias dibibirmu, bahkan sekalipun harus kutukar dengan nyawaku.

Akhirnya, aku menemukan dukun itu, setalah perjalanan panjang yang sangat melelahkan fisik dan pikiranku. Mendengar alasanku mencarinya, dukun itu menertawaiku dan mengatakan aku bodoh, dan ia malah mengusirku, tapi, niat telah membatu di hatiku dan tak bisa ditawar lagi, hingga akhirnya dukun itu menyerah dan mau menerimaku menjadi muridnya dan mangajarkan semua ilmu yang ia punya kepadaku termasuk ilmu untuk memelet wanita, dan ilmu inilah tujuanku. Dimana ada kemauan dan mimpi, alam akan selalu membantu untuk mewujudkannya, tapi sejauh mana usaha kita untukmewujudkannya, suara hatiku berbisik kepadaku. Empat bulan lamanya aku belajar kepadanya, banyak ilmu yang telah kupelajari dan laku yang harus kujalani, dan aku berhasil mempelajarinya dengan sangat cepat.

***

Semalam sebelum hari pernikahanmuaku datang kembali ke desa, berusaha untuk dapat menemuimu, diantara keramaianaku menyelinap ke kamarmu tanpa kau sadari. Di dalam kamar kulihat kau diranjang sedang tertidur, terbaring menghadap samping membelakangiku, aku terus melangkah dengan sangat hati-hati mendekat, tapi, samar ku dengar suara isak tangis dari arahmu, oh, rupanya kau belum tidur. Aku diam terpaku diantara dinding dan ranjangmu, dan secara tiba-tiba kau berbalik, memandang kearahku, badanku bergetar kencang dan kakiku seperti tertancap ke lantai. Sepertiku, kaumemandang ke arahku tanpa bersuara, hanya memandang, tak ada suara yang keluar dari mulut, tapi, aku lihat binar-binar kembali menghiasi ke dua bola matamu.

Setelah sunyi kita taklukkan, kau mempersilahkanku duduk di atas ranjang tepat di sampingmu, kaupun mulai bercerita tentang kehidupan dan kesedihanmu, harapan dan mimpimu dan juga tentang bagaimana kau telah mengetahui puisi itu ternyata di tulis olehku, karena diberitahukan oleh teman wanitamu yang juga temanku, teman yang selalu kuminta bantuan untuk menyelipkan puisi itu ke tempatmu, tentang betapa salahnya kauselama ini dan tentang betapa rindunya kau untuk bertemu denganku. Mendengar ceritamu membuatku mengerti ucapan dukun itu waktu aku masih menjadi muridnya, dia bicara kepadaku tentang "betapa beraninya aku mencarinya, tapi, betapa sangat takutnya aku hanya untuk mengungkapkan perasaanku kepadamu.".

Malam itu, aku menawarkan kepadamu tentang rasa di hatiku dan kau bilang, sudah sangat terlambat untukkita bersama dan juga kau bilang, bahwa kau lebih memilih kebahagian keluargamu walau harus mengorbankan kebahagian dirimu sendiri.

Setelah mendengar jawabanmu, diam-diam aku merapal mantra pelet untuk menaklukan hati wanita yang di ajarkan dukun itu kepadaku, mengusap-usap telapak tanganku dan meniupnya sebanyak tiga kali, Lalu, dengan gerakan cepat kuusapkan ke wajahmu.

Malam itu, kau kubawa kabur meninggalkan desa, meninggalkan keluarga dan orang-orang yang kita kenal, meninggalkan kesedihanmu, meninggalkan tatapan kosong matamu, meningalkan penjara seumur hidupmu yang mereka buatkan untukmu dengan sebuah pesta perkawinan, kita terus berlari menuju kearah kebahagian dan kemerdekaan rasa di hati kita.

***

Di taman bunga ini, kulihat kau menari dan bernyanyi, tersenyum bahagia, binar-binar kebahagian memancar dari kedua bola matamu. ah, aku tak peduli lagi, keadaan ini akibat mantra atau memang hatimu menginginkannya, karena puisiku telah hidup kembali di hari-harimu.



Farian Pratama Fauzan

Bekasi 17/08/10.



Kamis, 12 Agustus 2010

Stasiun Senen dan Kenanganku

Stasiun senen pagi ini. Orang-orang lalulalang, pergi dan pulang, seakan rutinitas yang membuat aku tak pernah berhenti mengunyah isi di otak mereka, diantara seribu wajah yang tak pernah bertukar sapa antara mereka, kehidupan seakan membawa mereka lupa akan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Aku berada diantara mereka, disini, setiap hari menikmati detik akan kenangan bersamamu di tempat ini adalah kebahagian bagiku.
Aku terlahir bernama Ariyani, atau orang-orang yang tingal disini suka memangilku nyai Ani, tujuh puluh tahun yang lalu tepatnya, disebuah desa di daerah perbatasan jawa barat - tengah. Aku masuk ke stasiun senen ini ketika usiaku menginjak tujuh belas tahun. stasiun senen dahulu belum sebagus ini, dulu di sini masih banyak rumput-rumput liar tumbuh, bangunan stasiun pun tak sebagus sekarang hanya sebuah bangunan kecil yang berbentuk kotak dan tidak terlalu besar. Disini dulu juga banyak bangunan-bangunan liar atau biasa di sebut warung remang-remang atau tenda biru, tempat para lelaki hidung belang melepaskan hasratnya, tak perduli masih bujangan atau sudah punya istri. Dan di situlah aku pertama kali mencoba peruntungan hidup.
Orang-orang yang lewat sering mengangap aku pengemis, mereka suka melemparkan uang receh kepadaku tapi tak pernah ada yang menanyakan kenapa aku di sini, mereka hanya meliha aku seorang wanita tua dan perlu dikasihani. ah, memang sifat manusia sekarang, mereka suka melihat sesuatu dari tampilannya saja, Padahal aku tak butuh uang mereka. Untuk uang aku tak pernah kekurangan, anak-anakku semua sudah berhasil, anak pertamaku sekarang sudah lulus S2 untuk jurusan Manajemen dan bekerja sebaga pengusaha yang cukup sukses di Jakarta dan anak ke duakupun telah menjadi PNS dan mempunyai jabatan yang cukup tinggi. Telah kubesarkan mereka seperti apa yang suamiku pesankan kepadaku, untuk selalu menjaga anak-anak dan sekolahkan mereka yang tinggi agar tak menjadi anak yang bodoh.
Ya, suamiku, orang yang paling kucintai seumur hidupku.
***
Lima puluh tiga tahun yang lalu aku datang ke stasiun, dengan hanya bermodal keberanian dan keyakinan untuk dapat merubah keuangan keluarga aku merantau ke Jakarta, alih-alih mencari pekerjaan aku malah hanya bisa menjadi pelacur di stasiun ini, dikarenakan memang aku tak pernah mengecap pelajaran sekolah, jadi hanya pekerjaan inilah yang mampu aku lakukan atau yang terseda untukku. Tapi dengan bermodal wajah yang lumayan cantik dan supel dalam pergaulan aku menjadi kembang di sini, hingga membuat aku menjadi rebutan para pelangan.
Suatu hari di tengah pertengkaran aku melihatmu untuk pertama kali, ketika seseorang yang mabuk tidak mau membayar atas jasa yang telah kulakukan, dan ia malah menghina dan mencaci-makiku, dan kau pun datang untuk melerai perkelahian itu, karena memang itu tugasmu sebagai petugas pengaman atau jawara yang menjaga tempat ini. Tapi, pertemuan itu telah membuat hari-hariku berubah, aku jadi suka menghayal dan mencari-carimu, hanya untuk melihat wajahmu, dan aku tahu kau pun begitu kepadaku.
Akhirnya, hari-haripun kita lalui berdua, bersembunyi dari germo yang merasa telah memilki diriku dan berhak melakukan apa saja atas diriku, hingga akhirnya aku hamil darimu karena denganmu aku tak pernah memakai pengaman saat berhubungan badan. Mendengar tentang kehamilanku kau pun mendatangi germo yang memilikiku, memintanya untuk melepaskan aku dari pekerjaan yang harus aku lakukan. Di depanmu dia tidak dapat menolak kemauanmu, karena sebagai seorang jawara tempat ini tak ada yang berani berurusan denganmu termasuk anak-anak buahnya, jadi dia persilahkan aku kau bawa, tapi, aku tahu dari sorot matanya dia menyimpan dendam, karena aku adalah lumbung penghasilannya dan setelah kepergianku pelangan yang biasanya ke tempat ini pasti akan pergi ke tempat lain.
Waktu terus berjalan, kau selalu berusaha membuatku bahagia, tak pernah memperdulikan masalaluku. Bersamamu seakan semua mimpiku telah tercapai, aku hidup dalam kebahagian sebagai seorang ibu dan seorang istri. Hingga kehamilanku atas anak kedua kita, ketika itu banyak para jawara-jawara baru datang dan mau melakukan apa saja demi uang.
Suatu malam di hari aku melahirkan putra kita yang ke dua, di tengah pertaruhan nyawaku untuk anak kita, kaupun sedang mempertaruhkan nyawamu untuk keluarga kecil kita. Menurut cerita orang-orang, malam itu kau berkelahi melawan lima jawara yang ingin merebut pekerjaanmu, pekerjaan yang menghidupi keluarga kita, aku tahu, kenapa kau mempertahankan pekerjaan itu walau harus kau tukar dengan nyawamu sekalipun, karena hanya itu pekerjaan yang mampu kau lakukan untuk menghidupiku dan anak-anak kita. Melawan lima orang sendirian, karena tak ada yang membantumu karena anak buah telah di beri uang oleh mantan germoku untuk tidak membantumu, di tengah pertarungan itu kau berhasil membunuh dua orang dari mereka pertanda kegigihanmu melawan mereka, kegigihanmu membela kebahagian keluargamu, walau akhirnya nyawamu tak dapat di selamatkan.
***
Stasiun senen pagi ini. Di lorong dekat taman patung tekad merdeka, orang-orang ramai berkumpul, membentuk setengah lingkaran karena memang di depan mereka ada pagar yang menghalangi, dari tempat aku berdir tak bisa kulihat apa yang mereka kerubungi, penasaran, aku ingin menghampirinya ketika sebuah tangan menarik tanganku, sebuah tangan yang sangat aku kenal, sebuah tangan kasar yang sentuhannya terasa lembut di kulitku, sebuah tangan yang sangat aku rindukan memeluk tubuhku.
“istriku, aku sangat merindukanmu, telah lama aku menanti kedatanganmu di sini, kedatanganmu menemuiku untuk menjadi milikku utuh kembali, menikmati kerinduan dan cinta kita yang telah cukup lama tertahan.”
Seketika jiwaku dan jiwa suamiku melayang ke angkasa, meninggalkan ragaku yang tengah di pandangi orang-orang.


Beny Fauzan
Senen, 13/08/2010 00.53 WIB

kekuatan cinta

Siang ini matahari seperti malu-malu untuk menampakkan wajahnya, dia lebih memilih bersembunyi di balik awan. Di jalan yang tak terlalu ramai, mungkin karena hari libur para penghuninya memilih liburan keluar kota atau bersantai di rumah dengan keluarga setelah lelah satu minggu bekerja atau terjebak dalam kemacetan. Di jalan itu sebuah mercedez benz yang berwarna putih dengan dihiasi pita dan karangan bunga di sekelilingnya berjalan pelan namun pasti.
Aku dan kamu berada dalam mobil ini, mengingat kembali cerita-cerita indah, mengingat setiap waktu yang kita lalui penuh dengan cinta dan bahagia. Aku masih ingat ketika pertama kali melihatmu, aku begitu terpesona dengan senyummu, dengan mengunakan kaos merah, celana jeans dan sepatu kets membuat tampak begitu angun, menurutku.
Sejak pertemuan kita pertama kali itu, tak satu hari pun terlewat tanpa ada dirimu di pikiranku, ah, aku sangat mencintaimu. Apalagi, setelah aku tahu kau juga mempunyai perasaan yang sama kepadaku, dan akhirnya kita memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih.
Tak terasa sudah 3 tahun aku dan kamu menjadi kekasih, walau kita menjalaninnya secara sembunyi-sembunyi dari orangtuamu, karena meraka tak pernah setuju aku menjadi kekasihmu apalagi untuk menjadi suami, Tapi, kau tetap bertahan dan berjuang untuk cinta kita, karena kita yakin suatu saat nanti pasti cinta kita menang.
“Ya, wajar mereka tak menyetujui hubungan kita saat ini, karena kondisiku keuangan keluaragaku dan aku, tapi, aku akan terus berusaha untukmu.”ucapku sambil mengengam jemarimu.
“aku pun akan berjuang untuk mempertahankan cinta kita, karean aku tak bisa hidup tanpamu dan hatiku memilih untuk menjalani kehidupan ini bersamamu selamanya.”ucapmu membalas ucapanku sambil memeluk tubuhku. Dan aku sangat bahagia mendengar ucapanmu, sungguh aku sangat bahagia.
Mercedez benz terus menyusuri jalan, semakin dekat ke tempat peraduan terakhir untuk menjalani kehidupan bersama. Aku masih mengingat hari-hari yang kita lewati bersama, mengingat jalan ini, jalan yang menyimpan seribu kenangan tentang kita. Dan taman di pinggir jalan ini adalah tempat janjian kita bertemu karena tak mungkin aku menjemputmu ke rumahmu, orangtuamu pasti akan mengusirku. Di ayunan itu kita sering bertukar cerita tentang hari-hari yang kita lalui, membagi tawa dengan bunga-bunga yang mekar dengan indah di taman ini, dan juga membagi tangis ketika kita bicara tentang orang tuamu.
“kamu jangan nyerah ya, karena aku tak akan pernah menyerah untuk mempertahankan cinta kita. Dan yang lebih penting aku tak bisa hidup tanpamu.”ucapan yang selalu membuatku bertahan dan berusaha untuk menunjukkan kepada orangtuamu bahwa kita mampu.
Perjalanan mercedez benz ini tinggal satu kelokan di depan, aku dan kamu duduk di dalam mobil yang bisa menandakan kedudukan sosial seseorang di mata masyarakat, kedudukan yang selalu menjadi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Walau sebenarnya kita selalu diajarkan di mata Tuhan semua manusia itu sama, tak ada bedanya. Tapi, itu hanya teori dari sebagian orang karena di dunia sebenarnya tak pernah berlaku hal seperti itu, dan jurang pemisah itu adalah realita sebenarnya.
Akhirnya, mercedez benz sampai di tujuan akhir perjalanan di sebuah rumah baru, rumah yang sangat mewah, rumah yang berada di antara lingkungan elit diantara tetangga yang tak pernah saling bertukar sapa, mungkin juga tak pernah saling mengenal.
“tuan dan nyonya, kita sudah sampai.”ucapku.
Dan kulihat airmata menetes di pipimu.


Beny Fauzan
Bekasi