Jumat, 18 Maret 2011

matamu yang malam

lewat matamu,
aku mengembara mengelilingi bumi
lebih cepat dari hembusan angin
lebih kencang dari perputaran matari dan bulan
menjadi saksi terciptanya setiap keindahan
keindahan yang hanya engkau memilikinya.

di matamu semua berawal
di matamu juga semua berakhir
karna perjalananku adalah lingkaran coklat di kornea matamu

matamu yang malam,
tempat kunangkunang mimpiku berpijar
mimpi yang kubangun dari panjangnya kesendirian diri
dari malam-malam yang melahirkan kelam
hingga matamu pancarkan cahya
terangi setiap jalan yang kutapaki

matamu yang mataku
musafir yang menemukan tempat menetap.
oase di tandus sahara
pelangi setelah badai
dan tatapan yang berbalas.

maka, dari tatapan itu,
kugariskan takdir di tanganku sendiri; yang juga tanganmu.

Selasa, 15 Maret 2011

Dari rindu dan detak jantung

Rindu itu, lin. Rindu yang kita cipta ketika jarak semakin memperlebar dekapan, tepat di saat waktu hampir saja kita hentikan, namun, sekali lagi ia menang dan mempecundangi kita dengan telak. Ia, rindu, pelan tapi pasti diciptanya sebuah pusaran air dari samudera keterpisahan, membangun gelombang-gelombang yang semakin besar dan mungkin akhirnya membangun tsunami, menyapu seluruh pulau-pulau kenangan, pulau yang selama ini kita tempati.
Detik-detik terus berdetak, hari-hari terus berganti, namun rindu (sebuah pengharapan akan kebersamaan) terus mengambil alih detakdetik dan hari-hari di hariku. Aku takut, sunguh, aku takut semua ini tak nyata lagi, kemudian secara perlahan berubah menjadi hanya sebuah mimpi ketika kesadaran kita terambil alih oleh logika.
Ingatkah kau, lin, ketika malam untuk pertama kali kita buat persembunyian, hanya kau, aku dan malam, berbicara berbisik sebab kita tahu hari esok mungkin akan mendengar hingga lekas ia suruh pagi menculik salah-satu dari kita. Sementara kita tahu, kita baru saja menelajangi diri, menghafal setiap lekuk tubuh, agar ketika kita bertemu lagi nanti, kita sudah saling mengenal. Saat ini, masihkah kau kenali aku, ketika jarak semakin samarkan ingatanmu?
Tahukah kau, lin. Siang ini matari bersinar dengan pongahnya, mengeringkan setiap jiwa yang merindu, membakar setiap lembar kenangan yang hinggap di atas pucuk pohon ingatan, tapi, masih saja wajahmu, hadir dalam kekeringan berkepanjangan akan sebuah penantian hujan, ya hujan, yang selalu menjadi penanda kedatanganmu, lewat rintik, kau belai lembut tanah-tanah kerontang di jiwaku, mengalirkan kesejukkan hingga kembali suburkan tunas-tunas rasa cinta di dadaku. Lalu, dengan mengendarai pelangi kau turun memelukku. Semoga, ini bukan mimpi di tidur siangku.
Lin, masihkah kau simpan detak itu? Detak yang kuberikan padamu di perjumpaan pertama kali, detak yang kau kenali asing saat itu. Lin, untuk mengenali keasingan detak itu tak usah kau turut meng-asing pula, detak itu adalah jantungmu sendiri, yang dulu kau berikan kepadaku ketika kita belum saling mengenal, tak usah bingung lin, karna detak itu adalah detak jantungku juga.

Dari rindu dan detak jantung
aku selipkan harapan kepada malam
tentang keusaian kesendirian
dan penantian
maka, langkahkanlah kakimu mendekat
sangat dekat
hingga ketika berdekap
kita tak mampu saling tatap.

Kamis, 03 Maret 2011

Datanglah, perempuanku!

Datanglah, datanglah, perempuanku!
Telah kutunggu kau seribu musim sendiri
Musim-musim yang sepi
Musim yang merobek dadaku dengan belati rindu

Dan demi darah,
dari rahim perawan ia tertumpah
Yang melahirkan penantian-penantian panjang
Datanglah, datanglah

Mari kita berdekap, lalu lenyap
Sebab, dari ketiadaan akan muncul kembali keberadaan
Dan dari keberadaan akan berakhir dengan ketiadaan
Maka, datanglah, datanglah, perempuanku!

Disini, telah kusuling anggur
Dari airmata pepohonan musim gugur
Yang melemparkan daunnya ke tanah
mari kita mabuk, perempuanku!
Lalu rebah dan mendesah
agar mekar bungabunga anyar.

Perempuanku, penantian tumbuhkan dahaga
Kekeringan di tengorakan rinduku
perempuanku, engkaulah mata air suci
penawar dahaga dari diri yang sendiri
maka, datanglah, datanglah, perempuanku!

Rabu, 02 Maret 2011

sayang, aku menunggumu datang

Di setiap kilometer terbentang adalah ukuran kepedihan dari rindu yang menjadi musafir di dadaku, begerak bebas menyayat setiap inchi dinding hati. Nyanyian burung-burung yang mencari sarang untuk bermukim, melawan musim yang semakin ekstrim. Cuaca tak lagi menentu, seribu pintu seakan membisu, ketika jarak mencipta rindu.

Sementara subuh ini, dingin gigilkan mimpi-mimpi para perindu dan sayup-sayup angin seakan mengantar suaramu, pelan, membisikkan kata-kata “aku datang, lewat angin malam yang sesatkan cahaya, sementara aku kehilangan arahmu.”. ahh, kapankah purnama menunjukkan jejak langkahku, agar kau tahu dimana aku menunggumu, di sebuah rumah yang kubangun dari seribu tiang-tiang rindu dan beratap ketulusan cinta.

Dan ketika kau tiba, kau akan tahu seberapa dahsyat sayatan rindu itu telah mengores tubuhku, semoga, masih kau kenali aku seperti pertama kali kau melihatku. Ketika pertama kali rindu itu terlahir dari rahim malam yang kita cipta dari percintaan sesaat.

Waktu, ya, waktu. Seperti juga rindu dan jarak selalu saja melahirkan kecemasan dan getar-getar nada dalam gemetar yang samar. Tentang kabar kehilangan mercusuar dalam pelayaran di keluasan samudera dan ombak besar selalu akan datang menghadang dan meradang, semoga tak karamkan biduk sebelum pencapaian dermaga; tempat ketika hatimu dan hatiku menyatu.

Keterpisahan, membuat jalan-jalan lengang, tak ada jari tuk digengam ketika melengang. Dan sayang, aku menunggu datang di sebuah rumah yang kubangun dari seribu tiang-tiang rindu dan beratap ketulusan cintaku kepadamu.