Kamis, 12 Agustus 2010

Stasiun Senen dan Kenanganku

Stasiun senen pagi ini. Orang-orang lalulalang, pergi dan pulang, seakan rutinitas yang membuat aku tak pernah berhenti mengunyah isi di otak mereka, diantara seribu wajah yang tak pernah bertukar sapa antara mereka, kehidupan seakan membawa mereka lupa akan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Aku berada diantara mereka, disini, setiap hari menikmati detik akan kenangan bersamamu di tempat ini adalah kebahagian bagiku.
Aku terlahir bernama Ariyani, atau orang-orang yang tingal disini suka memangilku nyai Ani, tujuh puluh tahun yang lalu tepatnya, disebuah desa di daerah perbatasan jawa barat - tengah. Aku masuk ke stasiun senen ini ketika usiaku menginjak tujuh belas tahun. stasiun senen dahulu belum sebagus ini, dulu di sini masih banyak rumput-rumput liar tumbuh, bangunan stasiun pun tak sebagus sekarang hanya sebuah bangunan kecil yang berbentuk kotak dan tidak terlalu besar. Disini dulu juga banyak bangunan-bangunan liar atau biasa di sebut warung remang-remang atau tenda biru, tempat para lelaki hidung belang melepaskan hasratnya, tak perduli masih bujangan atau sudah punya istri. Dan di situlah aku pertama kali mencoba peruntungan hidup.
Orang-orang yang lewat sering mengangap aku pengemis, mereka suka melemparkan uang receh kepadaku tapi tak pernah ada yang menanyakan kenapa aku di sini, mereka hanya meliha aku seorang wanita tua dan perlu dikasihani. ah, memang sifat manusia sekarang, mereka suka melihat sesuatu dari tampilannya saja, Padahal aku tak butuh uang mereka. Untuk uang aku tak pernah kekurangan, anak-anakku semua sudah berhasil, anak pertamaku sekarang sudah lulus S2 untuk jurusan Manajemen dan bekerja sebaga pengusaha yang cukup sukses di Jakarta dan anak ke duakupun telah menjadi PNS dan mempunyai jabatan yang cukup tinggi. Telah kubesarkan mereka seperti apa yang suamiku pesankan kepadaku, untuk selalu menjaga anak-anak dan sekolahkan mereka yang tinggi agar tak menjadi anak yang bodoh.
Ya, suamiku, orang yang paling kucintai seumur hidupku.
***
Lima puluh tiga tahun yang lalu aku datang ke stasiun, dengan hanya bermodal keberanian dan keyakinan untuk dapat merubah keuangan keluarga aku merantau ke Jakarta, alih-alih mencari pekerjaan aku malah hanya bisa menjadi pelacur di stasiun ini, dikarenakan memang aku tak pernah mengecap pelajaran sekolah, jadi hanya pekerjaan inilah yang mampu aku lakukan atau yang terseda untukku. Tapi dengan bermodal wajah yang lumayan cantik dan supel dalam pergaulan aku menjadi kembang di sini, hingga membuat aku menjadi rebutan para pelangan.
Suatu hari di tengah pertengkaran aku melihatmu untuk pertama kali, ketika seseorang yang mabuk tidak mau membayar atas jasa yang telah kulakukan, dan ia malah menghina dan mencaci-makiku, dan kau pun datang untuk melerai perkelahian itu, karena memang itu tugasmu sebagai petugas pengaman atau jawara yang menjaga tempat ini. Tapi, pertemuan itu telah membuat hari-hariku berubah, aku jadi suka menghayal dan mencari-carimu, hanya untuk melihat wajahmu, dan aku tahu kau pun begitu kepadaku.
Akhirnya, hari-haripun kita lalui berdua, bersembunyi dari germo yang merasa telah memilki diriku dan berhak melakukan apa saja atas diriku, hingga akhirnya aku hamil darimu karena denganmu aku tak pernah memakai pengaman saat berhubungan badan. Mendengar tentang kehamilanku kau pun mendatangi germo yang memilikiku, memintanya untuk melepaskan aku dari pekerjaan yang harus aku lakukan. Di depanmu dia tidak dapat menolak kemauanmu, karena sebagai seorang jawara tempat ini tak ada yang berani berurusan denganmu termasuk anak-anak buahnya, jadi dia persilahkan aku kau bawa, tapi, aku tahu dari sorot matanya dia menyimpan dendam, karena aku adalah lumbung penghasilannya dan setelah kepergianku pelangan yang biasanya ke tempat ini pasti akan pergi ke tempat lain.
Waktu terus berjalan, kau selalu berusaha membuatku bahagia, tak pernah memperdulikan masalaluku. Bersamamu seakan semua mimpiku telah tercapai, aku hidup dalam kebahagian sebagai seorang ibu dan seorang istri. Hingga kehamilanku atas anak kedua kita, ketika itu banyak para jawara-jawara baru datang dan mau melakukan apa saja demi uang.
Suatu malam di hari aku melahirkan putra kita yang ke dua, di tengah pertaruhan nyawaku untuk anak kita, kaupun sedang mempertaruhkan nyawamu untuk keluarga kecil kita. Menurut cerita orang-orang, malam itu kau berkelahi melawan lima jawara yang ingin merebut pekerjaanmu, pekerjaan yang menghidupi keluarga kita, aku tahu, kenapa kau mempertahankan pekerjaan itu walau harus kau tukar dengan nyawamu sekalipun, karena hanya itu pekerjaan yang mampu kau lakukan untuk menghidupiku dan anak-anak kita. Melawan lima orang sendirian, karena tak ada yang membantumu karena anak buah telah di beri uang oleh mantan germoku untuk tidak membantumu, di tengah pertarungan itu kau berhasil membunuh dua orang dari mereka pertanda kegigihanmu melawan mereka, kegigihanmu membela kebahagian keluargamu, walau akhirnya nyawamu tak dapat di selamatkan.
***
Stasiun senen pagi ini. Di lorong dekat taman patung tekad merdeka, orang-orang ramai berkumpul, membentuk setengah lingkaran karena memang di depan mereka ada pagar yang menghalangi, dari tempat aku berdir tak bisa kulihat apa yang mereka kerubungi, penasaran, aku ingin menghampirinya ketika sebuah tangan menarik tanganku, sebuah tangan yang sangat aku kenal, sebuah tangan kasar yang sentuhannya terasa lembut di kulitku, sebuah tangan yang sangat aku rindukan memeluk tubuhku.
“istriku, aku sangat merindukanmu, telah lama aku menanti kedatanganmu di sini, kedatanganmu menemuiku untuk menjadi milikku utuh kembali, menikmati kerinduan dan cinta kita yang telah cukup lama tertahan.”
Seketika jiwaku dan jiwa suamiku melayang ke angkasa, meninggalkan ragaku yang tengah di pandangi orang-orang.


Beny Fauzan
Senen, 13/08/2010 00.53 WIB

0 komentar:

Posting Komentar