Selasa, 17 Agustus 2010

Juliet

"Juliet, akulah yang membunuh Romeo. Aku mencintaimu, seperti kau mencintai puisi-puisi kekasihmu, puisi yang dia curi dariku."



Pagi di beranda rumah kita. Kulihat kau tersenyum, senyummu, selalu saja mampu meredakan semua hal di dadaku, sambil kau mengurusi taman di depan beranda rumah yang di penuhi bungga-bungga mekar dengan berbagai warna, seperti cinta yang terus mekar di hati kita atau hanya mekar di hatiku saja, entahlah. Kulihat engkau bahagia ketika mengurusi taman ini, kau memang menyukai keindahan taman ini selain kau juga sangat suka dengan puisi yang selalu kucipta dan kubacakan di malam-malammu.

Tak terasa satu tahun sudah kita bersama, tertawa dan bahagia. Membangun sebuah keluarga, membuat kehidupan baru,kehidupan kita berdua, jauh dari orang-orang yang mengenal kita, atau lebih tepatnya, melarikan diri dari mereka.

***

Aku ingat, ketika dua tahun yang lalu kau datang ke desaku, di karenakan usaha orang tuamu bangkrut di kota. sebagai gadis yang cantik dan gadis kota, hampir semua pemuda di desa ini tergila-gila dan ingin menjadi kekasihmu, dan aku salah satu dari mereka, juga termasuk sahabatku.Tapi, bukan itu yang membuatku jatuh hati kepadamu, kecantikan tingkah lakumu yang begitu mempesonaku.

Mulai saat itu aku seperti keranjingan untuk menulis puisi untukmu, sebagai penganti ungkapkan hatiku yang tak pernah berani untuk kukatakan secara langsung, tepatnya, aku menjadi pengagum rahasiamu, seperti tak pernah habis akal di otakku untuk mengirimkan lembaran-lembaran puisi yang ku tulis agar selalu sampai kepadamu tanpa pernah kau ketahui siapa penulisnya, karena memang tak pernah berani aku menuliskan nama di lembar itu. Sampai satu saat aku mendengar sahabatku mengakui, bahwa dialah penulis puisi itu.

Ya, sahabatku adalah lelaki yang mungkin sangat pantas untuk kau jadikan kekasihmu, sebagai anak bupati, dia menjadi orang terkaya di desa, dia punya segalanya, kecuali satu, puisi. Dan tentu orang tuamu dengan sangat setuju menjadikan ia menantunya. Tapi, aku tak pernah bisa menerimanya, sebagai seorang sahabat dari kecil, aku tahu siapa dia dan kebohongan-kebohongan di dirinya.

Sebagai sahabat dari kecil, aku sangat mengenalnya. Aku ingat, beberapa kali aku pernah di ajaknya ke tempat lokalisasi pelacuran di desa tetanga, di sana dia sangat terkenal, setiap wanita selalu ingin diajak tidur olenya karena sudah dapat dipastikan akan mendapat uang yang banyak. Sebagai lelaki aku tak akan munafik untuk tidak mengakui bahwa terkadang aku suka ke tempat ini, terkadang suka meminum minuman keras, secukupnya, suka melihat wanita-wanita yang ada di tempat ini, tapi hanya sebatas itu, karena untuk tidur dan bercinta dengan seseorang tidak hanya menggunakan nafsu tetapi yang paling penting adalah menggunakan perasaan, dengan bercinta dengan perasaanlah kita bisa mendapatkan kenikmatan yang benar-benar nikmat. Percintaan tak hanya sekedar pertemuan dua kelamin, tapi lebih dari itu, bercinta adalah penyatuan dua rasa cinta yang di lebur dengan kasih sayang, belaian dan sentuhan atas perasaan di hati. bercinta bukan saja sentuhan fisik tapi sentuhan jiwa.

***

Enam bulan berlalu sejak kau menjadi kekasih sahabatku dan memutuskan untuk bertunangan dengannya, mungkin atas desakan orangtuamu, Tentu, orang tuamu punya kepentingan atas pertunanganitu. Di tengah acara pesta pertunanganmu, kulihat bibirmu tersenyum, tapi tidak dengan matamu, kulihat kekosongan disana, tak ada binar-binar yang biasanya memancar dari kedua bola matamu, sebuah binar harapan dan kegairahan hidup.hari ini mata itu kosong, seperti matinya sebuah harapan. Melihat semua itu,hatiku seperti ikut mati, seperti matinya puisi-puisiku yang tak pernah sampai lagi ke dirimu, ya, sejak kau memutuskan untuk menjadi kekasih dari sahabatku, aku memutuskan untuk berhenti menulis puisi untukmu, atau mungkin itukah yang membuat binar-binar di matamu menghilang? Aku tak tahu pasti.

Namun, sejak hari itu, akuberniat untuk mencari seorang dukun yang telah menjadi legenda di tempat kita, seorang dukun yang sangat sakti menurut kabar orang-orang, seorang dukun yang hidup menyendiri di dalam hutan, dan tidak di ketahui dimana tempat pastinya dia tinggal. Seminggu lebih aku menggarungi hutan belantara ini, bergelut dengan dingin dan lelah, keluar masuk gua, tapi tak kunjung kutemukan. Dan ketika semangatku semakin luntur, pandangan kosong matamu di hari pertunanganmu, membuatku kembali bangkit dan berjanji akan terus mencari dukun itu hingga ketemu. Jujur, aku tak akan pernah mampu untuk memandang kesedihan di wajahmu, apapun itu akan kulakukan untuk membuat senyum selalu terhias dibibirmu, bahkan sekalipun harus kutukar dengan nyawaku.

Akhirnya, aku menemukan dukun itu, setalah perjalanan panjang yang sangat melelahkan fisik dan pikiranku. Mendengar alasanku mencarinya, dukun itu menertawaiku dan mengatakan aku bodoh, dan ia malah mengusirku, tapi, niat telah membatu di hatiku dan tak bisa ditawar lagi, hingga akhirnya dukun itu menyerah dan mau menerimaku menjadi muridnya dan mangajarkan semua ilmu yang ia punya kepadaku termasuk ilmu untuk memelet wanita, dan ilmu inilah tujuanku. Dimana ada kemauan dan mimpi, alam akan selalu membantu untuk mewujudkannya, tapi sejauh mana usaha kita untukmewujudkannya, suara hatiku berbisik kepadaku. Empat bulan lamanya aku belajar kepadanya, banyak ilmu yang telah kupelajari dan laku yang harus kujalani, dan aku berhasil mempelajarinya dengan sangat cepat.

***

Semalam sebelum hari pernikahanmuaku datang kembali ke desa, berusaha untuk dapat menemuimu, diantara keramaianaku menyelinap ke kamarmu tanpa kau sadari. Di dalam kamar kulihat kau diranjang sedang tertidur, terbaring menghadap samping membelakangiku, aku terus melangkah dengan sangat hati-hati mendekat, tapi, samar ku dengar suara isak tangis dari arahmu, oh, rupanya kau belum tidur. Aku diam terpaku diantara dinding dan ranjangmu, dan secara tiba-tiba kau berbalik, memandang kearahku, badanku bergetar kencang dan kakiku seperti tertancap ke lantai. Sepertiku, kaumemandang ke arahku tanpa bersuara, hanya memandang, tak ada suara yang keluar dari mulut, tapi, aku lihat binar-binar kembali menghiasi ke dua bola matamu.

Setelah sunyi kita taklukkan, kau mempersilahkanku duduk di atas ranjang tepat di sampingmu, kaupun mulai bercerita tentang kehidupan dan kesedihanmu, harapan dan mimpimu dan juga tentang bagaimana kau telah mengetahui puisi itu ternyata di tulis olehku, karena diberitahukan oleh teman wanitamu yang juga temanku, teman yang selalu kuminta bantuan untuk menyelipkan puisi itu ke tempatmu, tentang betapa salahnya kauselama ini dan tentang betapa rindunya kau untuk bertemu denganku. Mendengar ceritamu membuatku mengerti ucapan dukun itu waktu aku masih menjadi muridnya, dia bicara kepadaku tentang "betapa beraninya aku mencarinya, tapi, betapa sangat takutnya aku hanya untuk mengungkapkan perasaanku kepadamu.".

Malam itu, aku menawarkan kepadamu tentang rasa di hatiku dan kau bilang, sudah sangat terlambat untukkita bersama dan juga kau bilang, bahwa kau lebih memilih kebahagian keluargamu walau harus mengorbankan kebahagian dirimu sendiri.

Setelah mendengar jawabanmu, diam-diam aku merapal mantra pelet untuk menaklukan hati wanita yang di ajarkan dukun itu kepadaku, mengusap-usap telapak tanganku dan meniupnya sebanyak tiga kali, Lalu, dengan gerakan cepat kuusapkan ke wajahmu.

Malam itu, kau kubawa kabur meninggalkan desa, meninggalkan keluarga dan orang-orang yang kita kenal, meninggalkan kesedihanmu, meninggalkan tatapan kosong matamu, meningalkan penjara seumur hidupmu yang mereka buatkan untukmu dengan sebuah pesta perkawinan, kita terus berlari menuju kearah kebahagian dan kemerdekaan rasa di hati kita.

***

Di taman bunga ini, kulihat kau menari dan bernyanyi, tersenyum bahagia, binar-binar kebahagian memancar dari kedua bola matamu. ah, aku tak peduli lagi, keadaan ini akibat mantra atau memang hatimu menginginkannya, karena puisiku telah hidup kembali di hari-harimu.



Farian Pratama Fauzan

Bekasi 17/08/10.



0 komentar:

Posting Komentar