Minggu, 26 Desember 2010

Aku mencintaimu melaui ingatan

Aku mencintaimu melalui ingatan
Aliran sungai bergerak se-arah ke samudera
Terus mengalir tanpa mampu melawan
Hanya kepadamu dan selalu

Aku mencintaimu melalui kenangan
Lewat cahaya bulan di jendela
Ruangan kosong yang sendiri
Dan malam yang terlalu sepi

Aku mencintaimu dalam tanya tak berjawab
Dalam makna yang di kandung puisi
Dalam siluetsiluetmu yang menari
Di kala senja yang tak pasti
Akankah kau kembali?

Ah, barangkali kau tak pernah mengerti
Bahwa mentari pagi masih suci
Menjaga setiap rasa di hati
Begitu pula embun, selalu mekarkan ingatan
Dan aku tetap sendiri, memujamu dalam ketaktahuan

Aku mencintaimu dalam setiap pengembaraan
Mencari jejakmu di setiap penjuru bumi
Sungai
Samudera
Senja
Malam
Pagi dan embun
Seakan-akan aku tengelam di dalam kekosongan
Seakan-akan aku tak pernah peduli lagi
Atau, mungkin aku telah mati di hatiku sendiri
Dan bila nanti kau kutemui
Tak usah kembali. kau tak-akan pernah sama
Tak perlu juga kau cabut pasak namamu di hatiku
Yang menahan cinta ini hanya untukmu
Dan cukupkan saja aku mencintaimu dalam ingatan

Kesendirianku

Kesendirianku bukanlah bahasa sepi
Terlalu riuh hati. Dan juga bukan lari
Kesendirianku adalah pilihan diri
Tuk’ mengerti waktu yang terlewati

Aku memilih sendiri. kepada hati
Jujur masih menjadi warna diri
Daripada hidup bersama kemunafikan
Karna hitam bukanlah acuan

Jika nanti tiba waktunya
Aku akan bersama
Dan kepada dia. Seribu luka
Akan menjadi sumber bahagia

Kini. biar dulu kulumat habis sepi
Agar tak tersiasia nanti
Agar tak tersisa perih
Di akhir kesendirianku, pasti.

Kau Wanita Berhati Iblis Berwajah Peri

Kau Wanita Berhati Iblis Berwajah Peri
; iF

Kau wanita berhati iblis berwajah peri
Yang mengasah airmata menjadi belati
Tubuhmu racun yang merupa madu
Sarana untuk lacurkan apa yang kau tuju

Di bibirmu, terapal doa-doa api
Membakar ajaran kitab-kitab suci
Airsusu pertamamu. Janji kelahiran
Sebagai kepastian kematian

Oo, samudera merah
Oo, langkah tak berarah

Engkau kekasih, berhati iblis berwajah peri
--yang bercinta dengan meneteskan airmata di pipi
Namun, belati kau tusukkan ke punggungku
Di percintaan terakhir kau dan aku

Jika ada yang ingin kuingat hari ini, itu pasti kamu

Jika ada yang ingin kuingat hari ini, itu pasti kamu
Hujan tak tepat musim adalah rindu yang tiba-tiba
Padamu segala aku tertuju dan selalu
Bising gemuruh adalah detak jantungku mengingatmu
saat kenangan memamah habis mimpi-mimpi

selayaknya kenangan, ingatan kembali membuka
lembar-lembaran cinta dan luka; tanggis dan tawa.

Tanpamu, akulah musafir kesendirian
Berjalan mengarungi samudera kerinduan
Mencari jejak yang mungkin sempat kau tinggalkan
Karna penanda adalah penunjuk arahku kepadamu

Mungkin saja waktu terus berubah
Sementara rasaku tak’
Selayaknya cinta, tak akan pernah hilang
Hanya kadarnya berkurang
Seperti ingatan yang tak mungkin berbohong
Yang tertetap akan selalu tertetap

Maka sudah sepantasnya jika aku mengingatmu hari ini.

Disinilah Aku.

Disinilah aku diantara malam-siang dan siang-malam, yang menunggu kedatangan kabut keabuabuan di sebelah timur dan yang mengantar kepergian cahaya merah jingga di sebelah barat, menjadi saksi ketika musim berganti, benih-benih mulai tumbuh dari jiwa yang tak berpengharapan. dan adalah aku yang menyebutnya kerinduan.

Disinilah aku, yang menungangi kuda kesendirian dan mengarungi hijau savanna kerinduan, aku berjalan di lembah-lembah, memangilmu, namun, tak ada suara yang kudengar selain gema hatiku. aku memanjat gunung tertinggi untuk melihatmu, tapi, tak jua kutemukan dirimu, di kejauhan hanya pendar warna perak yang samar mewujud rupaku.

Disinilah aku, yang mengarungi samudera mimpi, diantara ombak-ombak ilusi yang kubangun dari puing-puing kenangan. Yang menujumu, dengan petunjuk bintang utara yang tak pernah lelah memandu arah;
harapan kehadiran jiwamu;
gelombang menuju pantai, tepi yang tak pernah kutemui.

Bintang-bulan di langit kamarmu.

Pagi ini aku rindu bintang-bulan yang kuletakkan di langit-langit kamarmu, masih tetap bersinarkah? Ketika jarak tak bisa lagi memperpendek mimpi yang telah terlampaui, ada kamu dan aku, yang mempermainkan segala dan kita samasama menghujam dada sendiri dengan belati kemunafikan.

Sepertinya kabut pagi ini telah mengenapi topeng muka dan menghias wajahwajah dunia. Kita berlari menjauh, walau sebenarnya kita malah mendekat, namun mengingkari, inilah dunia-dunia yang telah melahirkan kita, membatasi semua dengan apa yang kita tetapkan sendiri, menciptakan perbedaanperbedaan, lalu meneriakan kemerdekaan; terpenjara di penjara yang kita buat sendiri.

aku rindu melihat bintang-bulan di kamarmu, seperti aku merindumu. ketika dalam gelap kita menjadi diri sendiri dan mereka bersinar lebih terang, kita mulai membuat sajak-sajak sebagai alasan untuk menelanjangi diri, bercinta dalam barisan rima-rima dan makna yang hanya kau dan aku yang mengerti.

Sungguh aku rindu bintang-bulan kau-aku. Satu rasa dalam jarak yang tak pernah mendekat, hanya berbagi cahaya dan kita mulai menyebutnya cinta. Begitulah, aku rindu bintang-bulan di langit kamarmu, sebenarnya aku lebih merindukan kau-aku.

Kamis, 16 Desember 2010

Halte

Lewat denting hujan dan gemuruh langit, ada irama yang memainkan musik kesendirian dengan syairsyair kerinduan , dimana sepi menari dengan bising yang hening, jalan-jalan yang lenggang, hanya sekalikali ingatan membalikkan waktu tentang luka yang masih terbuka lebar di hati yang kini telah menjadi kenangan, tak pernah kembali dan tak akan pernah, seperti waktu yang terus berjalan kedepan dan yang tertinggal hanyalah pertanda merah di almanak.
Hanya malam yang selalu menjadi saksi ketika halte ini, mempertemukan kau dan aku pertama kali, ketika rintik hujan membuatmu duduk di sampingku, itulah pertama kalinya aku melihat matamu, ada semacam getar muncul secara tiba-tiba yang sekarang baru aku mengerti artinya, cinta pada pandangan pertama. Sedikit kedinginan dan kelelahan terpancar di wajahmu, namun wajahmu tetap kelihatan cantik dan aku tahu para lelaki di halte ini memenjarakanmu di sudut matanya dan termasuk aku.
Sejak hari itu, aku putuskan untuk selalu berada di halte ini sepulang kerja, sama dengan jam keberadaanmu di halte itu dan aku telah sangat hafal. Walau telah sering kita bertemu tak pernah sekalipun aku berani untuk berkenalan denganmu, mungkin karena telah sering bertemu akhirnya kita saling mengenal rupa dan setiap bertemu sekalikali kita saling bertukar senyum ketika matamu dan aku secara tak sengaja berpapasan. Dan semua selalu berakhir ketika sedan berwarna hitam berhenti dan kaupun masuk kedalamnya, namun senyummu tetap tertinggal di halte ini, bersamaku.
Waktu terus berlari meninggalkan semua tanpa pernah berulang, kecuali kejadian aku selalu menantimu di halte ini, entah apa yang ada di pikiranku, namun yang kutahu ketika tak kutemui kau seperti di hari-hari libur kerja waktu seakan berjalan pelan, setiap detiknya adalah penyiksaan akan rindu untuk menatapmu, hanya menatapmu, itu sudah cukup untuk membuatku tidur larut malam dan berkhayal tentangmu.
Akhirnya, kesempatan untuk kita saling berkenalan pun tiba, ketika Jakarta dilanda banjir dimana-dimana dan mobil sedan berwarna hitam terlambat untuk menjemputmu dan dalam hatiku berharap mobil itu tak akan pernah datang. Karna hanya tinggal kita berdua di halte itu, akhirnya aku berani mengajakmu berbicara, walau pertanyaan pertamaku agak aneh sepertinya, mungkin karena ketololan atau karna gugup, aku tak tahu pasti yang mana yang dominan.
“maaf mba, jam berapa sekarang.” Tanyaku, kaupun menjawab dengan sebuah senyuman, sebuah senyum yang paling manis yang pernah aku tahu dan jantung kembali berdebar dengan kencang. Cukup lama aku membutuhkan waktu untuk menenangkan diri dan kembali membangun kepercayaan diri untuk kembali membuka pembicaraan.
“maaf mba sekali lagi, jam berapa ya sekarang.”
“sekarang jam sembilan lewat sepuluh menit mas, oh ya, jamnya rusak ya mas.” Jawabmu sambil tersenyum.
Dengan gerakan refleks aku langsung memegang pergelangan tanganku, kudapati sebuah jam tangan model digital ada di pergelangan tanganku dan jam itu menunjukkan jam sembilan lewat sepuluh menit.
“ oh ya, maaf mba, aku lupa bahwa aku memakai jam.” Jawabku sambil tertawa, walau sebenarnya adalah jawaban yang paling bodoh, tetapi setidaknya aku dapat membuatmu untuk ikut tertawa denganku.
Keheningan yang cukup lama terjaga akhirnya mulai sedikit mencair, berawal dari sebuah pertanyaan tolol itu akupun mengetahui namamu dan arah pulangmu yang sangat berlawanan dengan arah rumahku.

***
“baru keluar kantor?.”
“iya nih, tadi agak banyak kerjaan, kamu udah dari tadi?”
“enggak baru kok, tadi juga lagi banyak kerjaan di kantor.” Jawabku sedikit berbohong, sebenarnya walau di kantorku banyak kerjaan pasti akan kutinggalkan untuk bisa bertemu denganmu.
“temanmu belum jemput?.” Tanyaku lagi, sebuah pertanyaan yang juga sedikit bodoh bisik di hatiku, karna kalau jemputannya sudah datang pasti dia sudah ikut pulang.
“belum nih, tadi pas aku bilang mau lembur, dia bilang di kantornya juga lagi banyak kerjaan dan mungkin jemputnya agak terlambat.”
“oh ya, kamu belum naik angkutan umum?” ucapmu.
“belum, jam segini masih macet dan aku agak males kalo macet, jadi aku tunggu agak malaman sedikit baru aku naik.”alasanku sekenanya, padahal sebenarnya ingin bisa lebih lama bersamanya.
“oh iya sih, daerah sana memang macet sepertinya.” Ucapmu yang semakin membuatku mempunyai alasan untuk lebih lama bersamamu.
Pembicaraan berlanjut hingga akhirnya aku bisa mendapatkan alamat YM dan pin BBnya, malam ini sepertinya bintang dan bulan bersinar lebih terang di mataku, setiap detik serasa begitu hangat, di halte ini sepertinya hanya ada aku dan dia, entahlah dengan yang lain, perhatianku hanya tertuju kepadanya dan hanya kepadanya. Tak lama berselang akhirnya jemputannya pun datang, seorang wanita berambut pendek dengan sedan berwarna hitam.

***

Jam sepuluh siang telpon gengamku bergetar, sebuah pesan masuk, sebuah pesan yang membuat jantungku berdetak dengan sangat cepat, seakan tak percaya kupandangi kembali telpon gengamku dan secara perlahan kubaca nama yang tertera di sana, kupu-kupu, nicknamemu di YM, cukup lama kupandangi telpon gengamku sebelum setengah otak sadarku menyuruhku untuk menjawab pesan itu. Dan akhirnya kita saling bertukar pesan.
“hi juga.”jawabku
“sibuk?.”
“gak juga. Kamu?”
“lagi enggak nih. Siang ini udah punya rencana makan siang dimana?.” Tanyamu.
“belum, kenapa?” kubalas pesannya dengan cepat.
“ooo, makan siang bareng yuk..” jawaban yang membuat aku setengah berteriak dan terloncat dari bangku kerjaku dan di ikutin oleh pandangan aneh para karyawan lainnya.
“boleh, mau makan siang dimana?” jawabku setelah menenangkan diriku.
“terserah kamu deh”
“oo, kamu aja deh yang pilih tempat, gimana?”
“baiklah kalo begitu, gimana kalo kita makan di restoran cepat saji yang di ujung jalan?”
“okay.”
“ ya udah kutunggu di halte ya, jam setengah dua belasan..”
“baiklah, aku akan datang tepat waktu..”

Ketika jarum jam menunjukkan jam sebelas aku sudah sampai di halte yang selalu menjadi tempat pertemuan dan sekaligus perpisahan aku dan kamu. Dengan tersenyum aku ingat kembali peristiwa pertama kali aku melihatmu di halte ini, dimana pertama kali aku jatuh cinta kepadamu dengan pandangan pertama.
Tepat jam setengah dua belas kau datang.

***
Tiga bulan telah berlalu sejak pertama kali kita janjian makan siang, sejak hari itu kita semakin sering janjian untuk makan siang, melewati hari dengan obrolan ringan atau seputar masalah kerjaan dan tak pernah menyinggung masalah pribadi. Kau dan aku semakin akrab dan sekarang saat kita berjalan pun sudah saling berpengangan tangan, layaknya sepasang kekasih, harihari selalu kita jalani dengan canda dan tawa dan tak pernah ada pertengkaran di antara kita.
Tapi, satu pertanyaan selalu mengajal dipikiranku, tentang permintaanmu yang hanya boleh menghubungimu di jam-jam kerja saja. Banyak pertanyaan mampir di otakku, diantara sekian banyak pertanyaan itu, satu perntanyaan cukup sering muncul; apakah kau sudah memiliki suami? Namun, jika memang kau telah memiliki suami kenapa tak pernah kulihat cincin di jarimu. Tapi, sebagai lelaki yang mencoba mengerti pasangannya aku menyetujui permintaanmu, karna kupikir setiap orang mempunyai privacy masing-masing dan aku menerima semua itu.

***

Pas lima bulan sejak pertama kali kita janjian makan siang, kau mengajakku untuk pergi liburan ke taman safari, tapi tentunya di hari kerja, hingga kita harus membuat alasan untuk tidak masuk kerja dan kita memilih hari jumat karna esoknya adalah hari libur. Di halte itu kita kembali janjian bertemu dan menunggu bis.
Sesampainya di taman safari udara terasa begitu segar, tidak seperti udara yang biasa kita hirup di Jakarta, dimana udara telah tercemari oleh polusi-polusi, disini udara terasa lebih segar dan membuat pikiran terasa begitu rileks. Sepanjang jalan kulihat wajahmu begitu bahagia, kau seperti seseorang yang baru mendapatkan kebebasan dan gengaman tanganmu tak pernah lepas dari tanganku.
“kau senang?” tanyaku, setelah berada diatas mobil yang disediakan oleh pihak kebun binatang untu berkeliling.
“aku senang sekali, disini begitu damai, begitu bebas, terima kasih telah membawaku kesini.”jawabmu sambil kau memeluk tubuhku dan merapatkan tubuhmu ke tubuhku.
“lihatlah, disini tidak seperti kebun binatang lain, disini binatangnya bebas berkeliaran.” Ucapmu.
Mobil terus berjalan hingga di pemberhentian terakhirnya, kau dan aku pun turun dan terus kita memilih untuk menonton acara drama yang bercerita tentang negeri koboi yang di perankan oleh manusia dan hewan, aku begitu gembira melihat aksi mereka yang begitu mempesona dan juga lucu, setelah acara itu kita melanjutkan kembali berjalan-jalan tanpa pernah melepaskan gengaman tangan kita, menyaksikan binatangbinatang dan keunikan mereka, betapa menarik kehidupan mereka.
Tak terasa mentaripun telah mengurangi sinarnya dan sore hari akan menjelang, kita memutuskan untuk mengakhiri perjalanan dan segera pulang agar tak terlalu malam sampai di Jakarta.
Bis berjalan memasuki tol jagorawi, kau menyederkan kepalamu di bahuku, secara perlahan kubelai rambutmu dan dengan pelan kucium kepalamu.
“aku mencintaimu.” Ucapku.
Kau pun tersenyum mendengarnya, tapi, di balik senyum itu kulihat kegusaran di wajahmu, walau tak begitu jelas kau siratkan namun aku telah memahami perubahperubahan di wajahmu.
“ada apa?, kau tak suka dengan kataku yang barusan?”tanyaku.
“tidak. Aku sangat senang mendengarnya, jujur, akupun begitu mencintaimu. Tapi…”
“tapi apa?”tanyaku dengan suara yang cukup lirih.
“hmm…..ada sesuatu yang belum kau ketahui tentangku.”
“maka beritahulah aku biar aku mengerti.”
“aku takut, setelah aku beritahu tentang siapa aku sebenarnya, kau akan membenciku.”
“kenapa aku harus membencimu?”
“karna aku tak seperti gadis normal yang lainnya.”
“normal? Maksudmu?.”
“iya, kau hadir di hidupku dan membuktikan bahwa apa yang sedang kulakukan ini salah, keadaanku saat ini tidak normal untuk orang lain dan kau datang memberikan kembali apa yang tak pernah kurasa, mencintaimu, mengembalikan diriku sebagai wanita sesungguhnya.” Airmata menetes di kedua pipimu, wajahmu menampakkan penyesalan yang sangat dalam.
“aku mencintaimu dengan tulus, aku akan menerima semua masalalu, apapun itu yang pernah kaulakukan..”jawabku sambil menghapus airmata di kedua pipimu, lalu, kucium lembut kening serta bibirmu, agar kau yakin akan ketulusan cintayang terus mekar di hatiku.
“terima kasih sayang, aku bahagia sekali..”jawabmu.
Lalu, keadaan kembali hening dan aku tak ingin memaksamu untuk mengatakan tentang keadaanmu, aku telah mencintaimu dengan tulus tanpa syarat dan akan menerima apa adanya dirimu.
“sayang, biarlah aku menyelesaikan semua keadaan dan masalahku saat ini sendiri, sabtu dan minggu besok semua akan selesai, dan di hari senin aku akan utuh menjadi milikmu seorang.”tiba-tiba suara memecah keheningan, muka menampakkan wajah keyakinan.
“seorang?. Jadi selama ini kau punya lelaki lain?.” Jawabku.
“percayalah, aku tak pernah mempunyai lelaki lain di hidupku selain kamu?” jawabmu sambil kau mencium lembut tanganku.
“jadi apa?”
“hari senin aku akan menceritakan semuanya kepadamu dan sekarang biarkan aku menyelesaikan semua ini.”jawabmu
“kenapa harus menunggu hari senin, akupun telah siap kok menerima apapun dirimu.”
“sudahlah tak usah dibahas lagi, saat ini, aku hanya ingin menikmati perjalanan ini dalam pelukanmu.” Ucapmu sambil kau memeluk lenganku dan merapatkan tubuhmu di tubuhku.
Bis terus berjalan dan saat ini sudah memasuki Jakarta, tepat di halte biasa kau dan aku bertemu dan berpisah kita turun, jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
“mau kuantar pulang?”tanyaku.
“nggak usah, aku naik taksi aja.”
“ya sudah, ntar pulang di jalan hatihati ya.” Jawabku sambil memberhentikan taksi warna biru dan menyuruh masuk kedalam taksi
“sayang, terima kasih ya hari ini, aku bahagia sekali..dan hari senin semuanya akan baikbaik saja dan kita pasangan yang sama dengan yang lainnya..” ucapmu.
Dan aku hanya menjawabnya dengan tersenyum walau di kepalaku katakatamu menyisakan pertanyaan.
“ya sudah, ketika sampai usahakan untuk menelponku hanya untuk memberi kabar bahwa kau baikbaik saja.”ucapku.
“aku mencintaimu.” Balasmu dan menutup kaca taksi dan segera taksi berjalan, aku masih berdiri di pinggir jalan.
Sambil menunggu angkutan yang kearah rumahku, aku tersenyum mengingat perjalanan tadi, betapa semua begitu indah dan betapa aku mencintainya.
Malam semakin larut sudah lima belas menit aku menunggu angkutan, seakan tak sabar menunggu angkutan di halte, aku berdiri di pinggir jalan dan masih tetap dengan lamunanku tentang kejadian hari ini, tanpa sadar sebuah mobil sedan berwarna hitam yang di kendarain oleh wanita yang berambut pendek melaju dengan kecepatan tinggi arahku, dalam sekejap membuat tubuhku terpental cukup jauh dari tempatku berdiri terakhir kalinya dan setelah itu membuatku tak ingat apa-apa lagi.
Treeetttt….treeetttttttt..
Treeetttt….treeetttttttt..
Suara telpon gengamku membuatku tersadar, dengan tergopoh-gopoh aku berjalan kearah telponku yang berada cukup jauh dariku, aku lihat namamu di layarnya, segera aku ingin mengangkatnya ketika kusadari tak bisa tanganku menyentuhnya dan kuulang kembali untuk menyentuh telpon gengamku dan tetap tak bisa kumenyentuhnya. Belum hilang kebingunganku, aku mendengar suara ribut-ribut orang orang yang sedang berkerumun di dekat halte, berkerumum membentuk setengah lingkaran, dengan perasaaan yang agak penasaran tentang apa yang mereka lihat, aku berjalan kearah kerumunan itu, dan kulihat sesosok tubuh penuh darah tergeletak di sana, tubuh yang sangat aku kenali, tubuh yang sudah sangat aku hafal setiap detilnya, tubuh yang telah menemaniku dari kecil dan tubuh itu adalah tubuhku.




Bekasi.

Caraku mencintaimu.

“sampai kapanpun, Aku akan selalu merayumu, agar selalu kulihat senyum di bibirmu.”

Dan kutulis puisi ini memang untuk merayumu, untuk memujamu dalam katakata indah walau terkadang terdengar lebay, namun, memang begitulah aku mencintaimu, mencintaimu dengan segala yang ada padamu, yang selalu terlihat indah di mataku.dan pada akhirnya, aku selalu sadar tak ada katakata yang mampu mengambarkan keindahanmu.

Matamu yang bening adalah tempat segala rindu kularungkan, menghentikan semua kecemasan, karna kini aku tahu, dimana aku akan pulang.
dan bibirmu adalah surga, tempat pertama kali aku bisa membedakan mana yang benar dan salah. Layaknya adam dan hawa, bersamamu, Akan tetap kulakukan dosa itu.

Saat memelukmu, adalah permainan yang paling memacu andrenalin, melebihi permainan di dunia fantasi. Jantung yang berdetak begitu kencang membuat tubuhku bergetar hebat, selalu saja, yang tak pernah kutemui di permainan manapun.

Begitulah aku mencintaimu, menukar rayuan dengan senyummu.

Mencintaimu dalam diam

pagi ini aku mengunduh fotomu dari account facebook-mu dan menjadikannya wallpaper untuk telpon gengamku, tentunya tanpa kau ketahui, entah agar aku bisa terus memandangi dan menelanjangimu dengan pikiranku atau karna efek dari bir yang kuminum di pagi ini, bir buah tangan dari adikku setelah semalam tak bisa mengajakku untuk ikut dugem di sebuah diskotik bersamanya, ahh, cukup lama telah kutinggalkan dunia malam itu.


Mencintaimu dalam diam

Aku memilih mencintaimu dalam diam
Dalam sepi yang di kandung malam
---yang berjalan sendiri
; tersesat di mimpimimpi puisi

Di hatimu. Aku adalah pintu
Saksi keluar-masuk tetamu
Deritnya suara jerit hatiku
Ketika kau tutup dan buka

Kekasih, aku mencintaimu dalam diam
Diantara bising yang mewujud hening
Dalam kata tanpa suara
Getar dalam kebisuan cinta

Padamu ada ilusi terus tumbuh
Mekarlah laksana bunga padma
Di tengah telaga keinginan
Ahh, semerbak di kediamanku

Puisi Terakhir

Sepagi ini kabut masih turun di kotaku, sesuatu yang sudah sangat jarang terlihat lagi di kota ini, mungkin karena saat ini perkembangan pembangunan dan penambahan kepadatan penduduk membuat perubahan terhadap suhu kota ini. Udara dingin yang lindap di sampingku membuat tubuhku agak mengigil, apalagi kendaraan melaju dengan laju yang agak kencang.
Tepat jarum jam menunjukkan jam 4:30 aku tiba di rumahmu untuk menjemput dan mengantarkanmu ke kostanmu dan tempat kerjamu di daerah Tangerang, seperti biasa kulakukan setiap hari senin, tapi pagi ini sengaja aku datang agak pagi karna hari ini aku ingin menikmati setiap detik perjalanan bersamamu.
Jalanan Depok sepagi ini masih lenggang tak begitu banyak lalulalang kendaraan, dengan tak begitu kencang kupacu motorku dengan mantap untuk melahap jarak sedikit demi sedikit, kurasakan lembut tanganmu memeluk pinggangku dan kurasakan sedikit kehangatan merambat pelan keseluruh sisi di hatiku, walau telah lama bersamamu tapi masih saja kurasakan debar jantungku seperti pertama kali cinta ini menetap dihatiku, tak pernah berubah sedikitpun.
Memasuki jalanan arteri pondok indah matahari telah terbangun dan cahaya terang sedikit demi sedikit terasa pasti menganti gelap malam, di sebuah perempatan lampu merah kuhentikan motorku ketika lampu berwarna merah menyala, diantara ramainya pengendara lain aku gengam jemarimu, merasakan setiap lembut kulit di telapak tanganmu, aku suka saat ini, saat kau membalas gengaman jemariku serasa kau juga mengengam hatiku, ada kedamaian menjalar diantara riuh degup jantungku yang semakin kencang, saat-saat seperti inilah yang selalu membuat aku semangat untuk tetap ingin mengantarkanmu, walau aku tahu waktu dan jarak yang kutempuh begitu jauh.
Roda motor terus berputar dengan pasti, sepasti kisah yang kita jalani selama lima tahun ini, dimana kebahagian selalu hinggap di harihari kita, bersamamu, senyum dan tawa selalu menjadi obat ampuh untuk melepaskan penat di setiap keletihan raga setelah seharian bergulat dengan urusan pekerjaan.
Di sebuah warung di jalan Ciledug raya kuhentikan laju motor, di warung ini kita selalu beristirahat untuk sedikit melepas lelah perjalanan atau sekedar istirahat untuk minum segelas kopi. Pagi ini sengaja aku duduk berhadapan denganmu, agar dengan leluasa kupandangi wajahmu, ahh, betapa cantiknya wajahmu, wajah yang selalu menghiasi setiap detik di harihariku dan wajah yang selalu membuat kerinduan di dadaku. Pagi ini juga tak banyak kata yang keluar dari mulutku, karna pagi ini, aku hanya ingin menikmati wajahmu dan setiap detik kebersamaan denganmu, setiap detik yang terasa begitu cepat berlalu, andai saja bisa kubunuh waktu agar tak bergerak dan membuat kebersamaan ini akan abadi selamanya. Tapi, laju waktu memang tak pernah bisa kita hentikan dan perjalanan harus kita lanjutkan.
Memasuki batas kota Tanggerang, laju motor semakin aku perlambat dan kurasakan pelukanmu semakin kencang di pinggangku seakan kau tak ingin melepaskan kebersamaan ini, dan aku kembali mengengam jemari tangan sebelah kirimu, kali ini aku gengam dan menempelkannya di dadaku agar bisa kau rasakan betapa jantungku selalu berdebar kencang ketika kumenyentuhmu dan juga agar kau tahu betapa besar rasa cintaku kepadamu, perlahan kurasakan mataku berair dan dadaku sesak. Dan tentu kau takkan pernah tahu, karna tak akan pernah kuperlihatkan itu semua di depanmu.
“gak ikut masuk?” ucapmu, sesampainya kita di rumah kostanmu.
“gak, aku menunggu disini aja, aku ingin menikmati lalulalang orangorang yang lewat.” Jawabku dengan alasan sekenanya saja.
“ya udah, tunggu sebentar ya.”
Sambil menunggumu menganti baju dengan seragam kerja, aku hafalkan bentuk rumah dan linkungan sekitar serta kebiasaan orangorang sekitar sini, tempat yang sangat nyaman dan para penduduk yang ramah, ahh, mengapa baru aku memperhatikannya. Tak berapa lama kau pun keluar dari rumah kostanmu, dan kau bertambah cantik dengan seragam kerjamu.
“lama ya nunggunya?” ucapmu. Sambil kubalas dengan tersenyum.
Lalu, aku mengandeng tanganmu untuk menyebrang jalan, karna tempat kerja dan kostanmu bersebrangan jalan, dan dadaku kembali berdebar dengan kencang.
“terima kasih sayang.” Ucapmu sesampainya di depan kantormu.
Aku kembali tersenyum.
“oh ya, ini untukmu.” Ucapku, setelah dari kantong baju kukeluarkan sebauh amplop berwarna biru, warna kesukaanmu.
“apa ini? Pasti puisi lagi ya? Tumben kali ini ngasih puisinya pake amplop, biasanya hanya kertas yang di coretcoret biasa atau hanya menandai di note facebook aja.” Ucapmu sambil tersenyum. Betapa cantiknya kau, bisik di hatiku.
“mungkin itu puisi, jika memang itu puisi maka itu adalah puisi terakhir yang kutulis dan aku tak ingin menulis puisi lagi.”ucapku.
“lohh, kenapa?. Padahal aku sangat suka dengan puisipuisimu, puisi yang selalu kau tujukan untukku, dengan puisimu aku bisa merasakan betapa kau menyayangiku.” Tanyamu.
“gak apaapa kok, ya udah gak usah dibahas.”jawabku.
“aku gak ngerti.” Ucapmu lagi.
“ya sudahlah, kamu masuk gih, ntar kamu telat lagi masuk kantornya.” Jawabku untuk menghindar dari pertanyaanmu.
“ya sudah, kamu hatihati ya ke kantornya, gak usah ngebut bawa motornya.” Ucapmu sambil mencium tanganku dan memintaku untuk mencium keningmu, sebuah kebiasaan yang selalu kita lakukan ketika bertemu dan berpisah.
“oh ya, jumat malam jangan lupa untuk memjemputku ya, aku sayang kamu dan pasti tak sabar menungu jumat malam untuk bertemu denganmu kembali.” Ucapmu. Dan aku hanya tersenyum mendengarnya.
Inilah untuk pertama kali aku tak membalas ucapan sayangmu.
Sambil berlari kecil kau masuk kekantormu.
Cukup lama aku tetap berdiri di depan kantormu, memandang kearah terakhir tubuhmu menghilang dari pandanganku. Secara perlahan kembali kulangkah kakiku menuju tempat motorku parkirkan, kembali kuhidupkan mesin motorku untuk menuju kekantorku di daerah Jakarta utara, namun, ketika tiba di persimpangan jalan aku tak jadi melanjutkan perjalan kekantorku, hari ini aku memilih untuk mengulang kembali jalan yang selalu kulewati bersamamu, namun kali ini aku ingin melewatinya sendirian dan mengingat kembali semua kenangan bersamamu di jalan itu.
di tengah perjalan pikiranku terus mengingat isi amplop biru yang kuberikan kepadamu, sebuah surat untukmu.



Untukmu, sayangku.

Sayang, ketika pertama kali mimpiku kau jadikan nyata dengan menerimaku menjadi kekasihmu, sungguh, tak ada selain itu yang aku inginkan dan sejak saat itu kau telah menjadi tujuan di hidupku. harihari bersamamu adalah kebahagian, tak pernah ada airmata yang pernah menetes di mata dan hatiku, untuk itu kuucapkan terimakasihku.

Sayang, terkadang waktu selalu menjadikan kita pelupa dan membuat kita harus memilih langkah mana yang harus kita pilih, seperti perjalanan selalu saja ada persimpangan yang selalu membuat kita tertarik dan melupa tujuan akhir dari sebuah tujuan awal dan memang begitulah kehidupan. Dan seperti layaknya sebuah pilihan akan selalu ada yang di korbankan, karna kita pasti samasama tahu untuk mendapat sesuatu kita harus kehilangan sesuatu, dan aku memilihkan itu untukmu.

Sayangku, rasa adalah sesuatu yang ikhlas tanpa pernah bisa dipaksa, sesuatu yang tak bisa di duga datang dan perginya. Tapi menurutku, rasa cinta tak akan pernah bisa hilang, mungkin hanya bisa berkurang kadarnya, karena kenangan adalah hal yang selalu akan tetap ada seperti sebuah ketetapan yang tak pernah bisa di rubah oleh apa dan siapapun.

Aku tahu, sayang. Saat ini hatimu sedang memilih dan aku tahu itu dari perubahan-perubahan sikapmu, walau kau berusaha untuk tak pernah merubah atau memperlihatkan itu kepadaku, tapi, tak ada kebohongan yang sempurna. Ingatkah kau sayang, dulu penah kukatakan kepadamu, aku bukan sebuah pilihan dan ketika hatimu sudah mulai memilih maka saat itu kau juga telah kehilangan diriku. Dan inilah aku sekarang, membebaskanmu untuk pergi.

Selamat tinggal, sayangku. Semoga bahagia dan tetaplah tersenyum.



Dengan cinta,


Yang tak bisa lagi bersamamu.

Kamis, 09 Desember 2010

Catatan dinding : Ketika Hujan Aku Mengingatmu

; linie maharani


Sejak sejarah mencatat hujan adalah kepurbaan rindu yang mengikuti dan ingatan selalu saja tertuju untukmu, rintikrinai menyentuh lembut ujung daun mendendangkan melodi indah tentang nyanyian ritual pemujaan keindahan; dirimu.
Serupa bibirmu, kesejukan menjalari setiap sisi di tubuhku, ada gigil yang mengetarkan detak di jantungku; ketika bibirmu menyapa lembut bibirku.
Kita kembali membalikkan waktu, saat pertemuan, hujan mewujud dalam rupa warna yang mengambar hatiku dan mu. Inilah sejarah katamu, dimana hujan mulai turun dan kita mencatat setiap rindu di buku ingatan.

***
Adalah hujan samarkan airmatamu dan aku ketika rindu lebih mengambil alih tatapan dan kita mulai mencipta jarak diantara sesak yang menghujam dadaku di dadamu; degup yang tak lagi berdetak di keasingan musim.

***
Aku masih memandangi hujan ketika ingat kau pernah katakan selalu menitipkan rindumu di setiap rinainya tapi aku lupa menanyakan di rintik yang mana rindumu akan mewujud.

***

Hujan adalah gemuruh yang berkecamuk.

***
Gemuruh adalah rindu yang berdetak di jantungku ketika hujan aku mengingatmu

***
Jantungmu berdetak di jantungku

***
Ketika kau Tanya “Apakah karna kecantikan kau memilihku?”. Maka kujawab “ jika karna kecantikan aku memilihmu, maka, akan kupastikan aku takkan memilihmu.”.

***
Jadilah kekasih, istri sekaligus pelacur untukku.

***
Membaca pesan yang kau titipkan di rinai hujan ada keraguan terbesit saat pelangi muncul ketika hujan reda karna kita samasama tahu tak ada warna abuabu di pancarannya.

***
Matamu yang embun adalah tempat segala rinduku memandang.

***
Jika mencintaimu adalah hunusan pedang, maka, aku telah mati di kematian yang indah

***
Di dadaku kau tumbuhkan resah
Pun waktu semakin pecah
Ketika cinta terus mekar dalam darah
Dan kita binggung menentukan langkah

Ayunan langkah tak sekuat gengam jemari
Persimpangan adalah harga mati
tentukan arah akhir tujuan
tentang kebersamaan dan kesendirian

***
Siang hari yang kulalui tanpamu
Betapa aku bising di kesepianku
Dan seperti malam yang kau ajarkan kepadaku
Betapa aku sunyi di keheninganmu

***
Setelah kepergianmu, aku tahu,
akan sunyi yang panjang
Hingga waktu membawamu kembali

***
Ketika kucari alasan kenapa aku mencintaimu, aku semakin kehilangan diriku
Karna ketika aku mencintaimu, aku mencintai diriku sendiri

***
seperti kamu, bungga mekar dan berwarna indah ketika dia menjadi dirinya sendiri tanpa harus di tata, dan masalalu adalah pupuk terbaik

***
Ketika siang mengatakan mencintai malam dan malam mencintai siang
Apakah kau percaya?
Sementara mereka tak pernah bersama

***
Kau dan cermin samasama memantulkan diriku

***
Dan kusebut ini cinta; aku menyayangimu melebihi diriku sendiri

***
Adalah kau yang merubah nadanada sedih di masalaluku menjadi melodi indah dengan syair-syair yang kau tulis dengan masadepanku.

***
Meragu adalah menanam benih di musim kemarau

***
Balok es takkan beku selamanya ketika temperaturnya tak dijaga; begitulah cinta

***
Di malam ketika kau tak ada
Kupatahkan rantingranting malam
Mengugurkan daundaun mimpiku
Ke tanah yang lembab dan kosong

di malam ketika kau tak ada
gongongan anjing begitu nyata
sekawan katak menyanyikan lagu rindu
ritual pemujaan akan kehadiran rembulan

di malam ketika kau tak ada
ada kesunyian di pulau hatiku
jalan setapak yang lenggang
yang gelisah menuju arahmu

di malam ketika kau ada
malam mengecup lembut bulan
sajak menikahi makna
dan aku tak ingin tertidur; lagi

***
Dan ketika nanti aku menghilang, percayalah, bukan karena rasaku berubah
Tapi, hanya ingin mengetahui seberapa besar rasa dan inginmu untuk bersamaku

***
Di kemudaan usiaku, akan selalu ada kesalahan yang akan kusesali nanti, kecuali mencintaimu.

***
Sebagai pengembara, takkan pernah kuhentikan langkahku
Tetapi, sebagai pecinta, telah kupastikan hatiku menetap di hatimu

***
Untuk bersamaku, kau harus seorang pejuang yang tangguh
Karna hidupku terlalu akrab dengan kemalangan

***
Di sebuah telaga yang bening, di tumbuhi oleh bungabunga air yang indah dan beraneka warna hiduplah seekor katak yang sangat mencintai bulan dan ketika malam di setiap malamnya selalu bernyanyi untuk menarik perhatian sang bulan. Kejadian itu berlansung secara terus menerus, hingga suatu saat katak kehilangan suaranya dan ia tak bisa bernyanyi lagi untuk memuja kekasihnya; bulan.
Waktu terus berlalu, katak tersadar dan merasa usahanya selama ini untuk menarik perhatiaan kekasihnya hanyalah pekerjaan sia-sia, karna bulan tak pernah mendekat untuk berada di sampingnya dan jarak di antara mereka selalu sama dan tak pernah berubah sedikitpun. Akhirnya, katak lebih memilih untuk menikmati keindahan bungabunga air dan mereka bersama selamanya di telaga bening itu.

***
“Keyza azzahra Fauzan”

Pada sebuah nama telah kita sepakati ketika kelahiran masih terkandung di dalam kepalamu dan aku sebagai penerus sejarah kematian dan juga sebagai alasan penyatuan isi dadamu dan aku karna di nama terakhirnya telah tertuliskan setengah takdir yang menjadi garis di tangannya sebagai isyarat di hari kelahirannya.

***
Jika ini memang perjudian terakhir, taruhkanlah seluruh masalalumu dan terimalah kemenangan atau kekalahan di masadepanmu.

Bagaimana kau menuliskan aksara namaku di dadamu

Kepada aksara namaku yang dulu terpahat di dadamu dan kini telah kau tukar dengan angka-angka berasal dari kepalamu, kita mulai menghitung sejauh mana angka samarkan warna merah senja di wajah dan melupakan kedatangan malam beserta kesepian yang selalu saja mengikutinya

Begitulah. Kita setuju bahwa tubuh adalah alat tukar yang baik ketika rindu semakin melacur di dadamu dan aku.

Dan seperti biasa kelupaan selalu alpha memberi petunjuk awal tentang ketuaan tibatiba, kau mulai sibuk meniadakan angka di dadamu dan kembali menganti dengan aksara namaku yang dulu telah kau hapus, lalu bagaimana kau menuliskan aksara namaku di dadamu? sementara aku telah lupa dengan aksara namaku sendiri yang telah juga kuganti dengan angka-angka.