Jumat, 20 Agustus 2010

Perjalanan Mengenang kenangmu.

Bekasi – Bandung. Jalan raya cianjur begitu lengang malam ini, hanya lampu jalan dan sesekali bis-bis antar kota menemani kesendirian perjalanan, terasa kadang angin sampaikan aroma wangi tubuhmu, sebentar saja, lalu kembali lindap di sampingku. Masih bisa kurasakan, pelukan tanganmu erat di pinggangku, seakan tak pernah ingin kau lepaskan, serupa cinta yang ada di dada kita. Namun takdir beri arti lain kepada harapan.
Vespa berjalan dengan kecepatan tak kencang, mengerti setiap pergelutan kenangan di ingatanku. Setiap jarak yang terlewat adalah kebersaman kenang, tertawa dan menangis dan debu jalanan yang terlipat rapi di kantong saku jaketku sebagai tanda engkau ada bersamaku. Sayang, ingatkah kau waktu kita memilih warna untuk vespa ini? Kita pilih warna putih dan biru karena biru adalah warna kesukaanmu dan putih adalah tanda kesucian cinta kita, tapi kita binggung untuk warna biru mana, ternyata terlalu banyak jenis warna biru, hingga suatu hari kita lewat di depan kuburan dan menemukan pecahan keramik dari salah satu makam kawanku, biru laut muda, ya, akhirnya kita setuju dengan warna itu. Saat itu, aku melupa bahwa itu adalah pertanda kepergianmu.
Malam telah beranjak dewasa ketika aku memasuki kota Bandung, se-dewasa pedih yang tumbuh subur di hati, ketika kesunyian tak mampu mengajarkan arti kegaduhan sementara kenanganmu tetap abadi di dada. “ aku mencintaimu, mencintai segala yang telah ada, yang baru, yang kau ajarkan padaku, dan di sinilah aku untuk pertama kali, memandang kota dan mu.” Masih kuingat dengan jelas kalimat yang pertama kali kau ucapkan untukku dan kota ini, dan untuk pertama kali juga kau pecahkan keperawanan kota Bandung di perjalanan hidupmu.
Waktu terus berdetak dan roda terus berputar, Meninggalkan semua dan menjadikannya kenangan. Udara malam terasa begitu dingin menusuk ke badan, tapi, ingatan tentang dirimu yang membuat hatiku beku. Dari tempat ini, Lembang, lampu-lampu kota tampak menari-nari, rerimbun daun teh seakan menyimpan abadi kenangan kita, rapat, hanya kau dan aku yang tahu dimana tersimpan, hati kita. Di sini, kita pernah menikmati segarnya udara perbukitan, memanaskan badan dengan segelas wedang jahe dan jagung bakar, mengunyah kehidupan dalam bahagia dan tawa, senyummu selalu menjadi purnama tak berkesudahan, malam itu.
Hujan mulai mengumbar kerinduannya akan bumi dan malam semakin tua di pelupuk mata, di keriputnya aku selipkan doa-doa kerinduan untukmu. Ingin sekali aku ikut berdansa di dalam hujan, ketika di derasnya hujan kulihat kau menari, seperti yang sering kau lakukan dulu, menari di dalam hujan, wajahmu begitu lugu, begitu gembira, dan kau tertawa bersamanya, dan aku suka melihat hujan dan tawamu. Udara semakin dingin dan hatiku semakin membeku.
Hujan selesai tepat setelah wajahmu memudar dan tarimu berhenti. Di depan penginapan yang dulu menjadi tempat kau dan aku mengakhiri malam, tempat kita saling menyentuh dan bertukar nafas agar terselaras detak di jantung , kita menyatu untuk pertama kali. sesudah itu, kau rebahkan mimpi dan citamu di bidang dadaku, dan kuletakkan semua di kepalan tangan, kuucapkan selamat malam dikeningmu, kau dan aku memiliki mimpi yang sama malam itu. aku hentikan vespa, merekam kembali semua itu di dada dan ingatanku.
***
Bandung – Bekasi. Kali ini arah kepulangan terasa sangat jauh, sejauh kepergian harapan yang telah kita ucapkan di kota ini, putaran roda vespa seperti tak beraturan, mengerti gundah yang telah menjadi dewa di pikiranku dan batas kota Bandung melambaikan tangannya sambil meneriakan kata-kata perpisahan yang terdengar begitu memuakkan di telinga. Aku suka kota ini dan aku suka kenangan indah bersamamu di kota ini dan aku benci ketika kenyataan mengharuskan berpisah dengan kalian.
Matahari sudah mulai mengurangi keangkuhannya, dan cahayanya tak begitu keras lagi menegur para pemimpi. Vespa terus melaju, liukan jalan di bukit kapur, Padalarang, mengingatkanku akan hidup yang tak selalu lurus dan tak selalu sesuai keinginan, setiap kelokan adalah irisan perih di hati, karena di sisi dinding bukit pernah kita tulis mimpi dan harapan, bahkan gambar wajahmu masih terlukis jelas di sana. Di sini pernah kita nikmati manisnya air kelapa muda, semanis kisah kita dahulu dan semuda kisah kita.
Jalan semakin menanjak dan menurun ketika aku sampai di daerah Jonggol, kanan kiri hutan membuat pemandangan yang begitu indah, mengingatkanku akan lembat rambutmu, tempat kau sembunyikan resahku dan di teduhnya hutan kutemukan matamu yang selalu saja mampu memberi harap ketika semangatku mulai lesap.
Roda vespa mulai semakin goyah ketika memasuki jalan Cicariu, di sebuah tikungan tajam kuhentikan laju roda dan kupakirkan vespa, sejenak aku berdiri menikmati pemandangan sawah di kanan kiri jalan, melihat petani menanam bibit-bibit harapan di sawah mereka, pemandangan yang sangat indah dan terasa sangat kontras dengan panorama di hatiku, selama lima tahun ini. Lima tahun sudah kuulang perjalanan ini di tanggal yang sama, setiap melakukan satu kali perjalanan ini, maka aku butuhkan satu tahun lagi untuk memberanikan diri melewati jalan ini, jalan yang dulu kita lewati bersama.
Badanku bergetar, kakiku seakan menancap ke dasar bumi, bulir-bulir airmata mulai deras membasahi pipiku, bukan karena aku cengeng, tapi, aku tak pernah sanggup menatap tempat ini, tempat terakhir kau di pelukanku. Di sini, lima tahun yang lalu, kau menghembuskan nafas terakhirmu dalam pelukanku, Masih ku ingat jelas kejadian itu, ketika dari arah berlawanan sebuah bis melaju dalam kecepatan tinggi, bis itu melaju dengan oleng karena sopirnya berkendara dalam keadaan mengantuk dan kita sedang menikmati pemandangan persawahan yang indah dan kebahagian canda diantara kita, ketika tiba-tiba kulihat bis itu melaju tepat kearah kita, sempat ku hindari bis itu, tapi, sebuah lobang besar di pinggir jalan yang rusak membuat kita terlontar, aku terhempas ke dalam selokan sementara kau tergelatak di tengah jalan, sempat kau berdiri namun seketika sebuah mobil sedan yang melaju dengan kecepatan tinggi menyambarmu dan membuatmu terpental ke pingir jalan, mobil terus melaju tanpa memperdulikan tubuhmu yang tergelatak, aku berlari kearahmu, memelukmu, menanggis, tapi kau sama sekali tak bergerak, terus-menerus kuteriakkan namamu berulang kali tanpa pedulikan sekitar kita, sempat kau membuka mata, memandang kearahku, merintih kesakitan, namun bibirmu tersenyum diantara darah yang keluar, sampai saat ini aku masih tak tahu apa yang membuatmu tersenyum waktu itu, dan waktu itu juga kau paksa bibirmu untuk mengucapkan sebuah kata yang tak pernah bisa kulupakan dan terus terngiang di telinggaku, “aku mencintaimu dan aku bahagia, terima kasih, sayang.” Kata terakhirmu di hembusan terakhir nafasmu.
Senja mulai melukis warna merah di ufuk barat, setelah kepergianmu entah kenapa aku tak suka ketika senja hari tiba, kulihat di merahnya isyaratkan luka dan perpisahan. Dari dalam tas kukeluarkan semua barang kenangan tentang kita, mengusap lembut semua, karena ku tahu tanganmu pernah singgah disana, orang-orang yang lewat memperhatikanku, meraba-raba apa yang aku lakukan di sini, tapi aku tak peduli karena kutahu kau ada di sini, di sampingku, mengengam tanganku.
“sayang, aku datang.” Ucapku, dan aku tahu kau mendengar dan menjawabnya, walau dalam bahasa sepi, bahasa angin yang lindap di telingaku.
“sayang, banyak hal yang terjadi lima tahun ini, ingin kubagi semua bersamamu, semua telah berubah, kecuali rasaku untukmu. Ketahuilah sayang, mereka seperti mengerti apa yang aku inginkan, tapi, sesunguhnya mereka tak pernah tahu, karena yang aku inginkan hanya bersama dirimu dan bersama dirimu. mereka bisa mengobati luka di ragaku, tapi, mereka tak akan pernah bisa mengobati luka di hatiku.”aku terus berkata, sementara airmata terus mengucur di pipiku dan aku tahu kau juga ikut menangis bersamaku.
“sayang, hari ini kubawakan semua barang kenangan tentang kita, kuletakkan di tempat terakhir kita bersama, terimalah, kuberikan semua barang kenangan kita bukan untuk melupakanmu, karena kau telah abadi di hatiku, selamanya.” Ucapku sambil meletakkan barang kenangan itu di tempat terakhir kita bersama.
“sayang, ini terakhir kali aku menemuimu, sungguh, bukan untuk melupakanmu, tapi, hidup terus berjalan dan aku tak bisa selamanya terdiam akan kenangan kita, karena hidup bukan aku dan kau saja, ada kebahagian orang lain yang berhubungan dengan diri kita dan itu orang tuaku. Sayang, orang tuaku telah memilih seseorang untuk menjadi pendamping hidupku, mereka bilang aku akan bahagia, tetapi sesunguhnya mereka tidak pernah tahu bahwa kebahagianku telah mati bersama kematianmu.”
“aku mencintaimu dan aku bahagia, terima kasih, sayang.” kudengar halus suara angin di samping telingaku seakan kau menjawab kata-kataku.
Malam baru saja terlahir dari rahim hari, vespa berjalan pelan meningalkan jalan Cicariu, meninggalkan semua kenangan kita dan sepi mengambil alih hidupku untuk selamanya.


Beny Fauzan
Bogor, 20/08/10

4 komentar:

Idham mengatakan...

Aigoooo.... Ceritanya sedih tapi bagus.... Keep writing Bang!!
I'll be your devoted reader... ^^

redthundie mengatakan...

thanks dham, apa kabar korea hari ini? dan terlebih kabarmu?

maaf pesanan belum jadi, karean masih meraba empat musim, dan di sini cuma ada dua musim...tunggu ya

Paramartha mengatakan...

very nice gan,. semoga kita senantiasa memiliki semangat sepertimu gan,.menjadikan masa lalu sebagai lecutan kita melangkah maju,.

Anonim mengatakan...

thanks gan..selalu ada celah antara masalalu dan sekarang, yang mungkin bisa untuk kita memahaminya..

redthundie

Posting Komentar