Sebagai seorang anak, kami adalah harapan dan pengharapan, sumber kebahagian, mempererat keutuhan sebuah keluarga. Kehadiran kami selalu di nanti-nantikan sebagai penerus sebuah keturunan, penerus nama keluarga. Tanpa kami sebuah hubungan akan menjadi kosong, seperti sayur tanpa garam, begitulah kata-kata orang arti sebuah anak. Tapi sayangnya tidak semua dari kami mendapat perlakuan seperti itu, termasuk aku.
Aku terlahir tanpa pernah di harapkan kehadiranku. Terkadang harapan bisa berubah menjadi sebuah aib, ketika sebuah tanggung jawab dari sebuah perbuatan tak lagi relevan, dan janji menjadi sebuah kata tanpa arti ketika norma masyarakat ikut mengambil peran.
Aku tercipta dari penyatauan cinta sepasang jiwa, cinta yang memabukkan mereka dalam usia muda. Tetapi ketika mimpi terenggut sebuah keharusan pilihan menjadi senjata yang memakan diri sendiri.
***
“ibu, aku ada karena kau yang membuatku ada.”
Di rahimmu, aku berlindung dari luka yang kau tanggung ketika ayahku meniggalkanmu dalam kesendirian, kesepian dan keterpurukan.
“Apa ini salahku ibu?”
Karena aku tak bisa memilih siapa yang akan menjadi ayahku, dan kaulah yang memilihkannya untukku.
“Ibu, kini hapuslah airmatamu.”
Sembilan bulan sepuluh hari, kau menangis tanpa henti, meratapi semua yang pernah terlewati. Dan aku mendengar dan menanggis bersamamu.
“Oh ibu, aku tak bisa melihat, meraba, dan berlari.”
Sekian lama aku menunggu untuk melihat, meraba wajahmu dan berlari kepangkuanmu. Aku sangat merindukannya ibu, sunguh. tapi, obat yang sering kau minum waktu aku masih di kandungan telah mengambil mata, tangan dan kakiku. Hanya jiwaku dan semangat untuk melihat dan meraba wajahmu dan berlari kearahmu yang tak bisa dia rengut dariku.
***
“Ibu, kaukah ini, yang memelukku dengan kedua sayap di punggung.”
Dengan kaki mungilku aku berlari kearahmu, meraba wajahmu.
“Ibu, aku bisa melihat dan berlari, Aku bahagia.”
Ketika aku dilahirkan semalam, aku tak bisa melihat bahkan untuk mengeluarkan suara tangis pun aku tak mampu sehingga aku manangis dengan hatiku dan sampai membawanya ke tidurku.
“Kau sangat cantik ibu, kau tersenyum, sudah selesaikah tanggismu?”
“Tunggu dulu, apa benar kau ibuku?”.
F. Farian Pratama.
Bekasi 31 juli 2010 5:10
Cerpen: Bercinta dengan Celana Dalam Perempuan
3 tahun yang lalu