Kamis, 26 Agustus 2010

Sebuah Surat di pinggir kali.

Oleh : F. Pratama Fauzan

Biasanya gambaran dari sungai adalah air yang jernih, beriak mengalir, ikan-ikan kecil yang berenang kesana-kemari, berlawanan dengan apa yang sedang ada di depanku, air yang kotor, tak ada ikan yang hidup kecuali mungkin satu jenis ikan, yaitu ikan sapu-sapu, tak ada riak karena airnya telah dangkal oleh sampah-sampah sisa pembuangan sembarangan yang tak terurus dan berwarna kehitaman. Mungkin inilah gambaran dari keputusan yang telah ku ambil, dimana keputusan adalah aliran sungai yang mengalir ke muara tanpa pernah bisa berpulang ke hulu, sementara kotor dan sampahnya adalah gambaran dari resiko yang harus kutanggung dari sebuah keputusan yang salah.
Sudah tiga bulan belakangan ini aku tinggal di sini, di bawah kolong jembatan di pinggiran kali ciliwung , tepatnya sejak penyakit ini semakin mengerogoti tubuhku, tak terhitung biaya telah kukeluarkan bahkan tabungan yang telah kukumpulkan, tak ada yang bersisa, tak ada teman, tak ada saudara, tak ada siapapun yang aku kenal di sini, hidup dalam penyesalan dan kesendirian, hari ke hari hanya meratapi nasib.
Panggil saja aku Nadya, karena nama inilah yang aku pakai selama sepuluh tahun belakangan ini dan biarkan kalian mengenalku dengan nama itu saja, untuk nama asliku tak mungkin aku sebutkan, dikarenakan di belakang nama asliku ada nama keluarga yang mengikuti dan tak mungkin kubuat mereka malu dengan apa yang telah aku lakukan, cukup aku saja yang menangung semua ini, akibat dari keputusanku sendiri. Aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana di kampungku, tak kekurangan dan tak juga berlebihan. Bicara tentang masalalu aku sangat merindukannya, kampungku, hidup sederhana dan damai, dan juga ingatan tentang seseorang yang begitu mencintaiku dengan tulus, Indra, sebut saja seperti itu, seorang pemuda desa yang sederhana, jujur dan lugu, ahh, betapa aku merindukannya dengan sangat. Seandainya saja waktu bisa diulang aku akan bersedia hidup di kampung dengannya tanpa mengetahui kehidupan kota dengan kekejamannya, aku rela, tapi, nasi telah menjadi bubur.

***

Ceritaku bermula dari dua belas tahun yang lalu, ketika aku baru menamatkan sekolah menengah tingkat atas di desaku, terbesit di pikiranku untuk melanjutkan ke bangku kuliah di kota Jakarta, tapi, keadaan orang tuaku tak memungkinkan untuk melanjutkan, dan tak tega juga hatiku untuk memaksa mereka, karena masih ada tiga adikku yang masih bersekolah. Sebagai anak pertama aku sangat mengerti keadaan itu, apalagi waktu itu sedang terjadi krisis moneter di Indonesia dan akhirnya berpengaruh juga terhadap perekonomian keluargaku.
Enam bulan berlalu sejak kelulusanku, impian masih melekat di dadaku untuk bisa melanjutkan kuliah dan mengadu nasib di ibukota Jakarta, seperti yang aku lihat di sinetron-sinetron televisi, dimana kehidupan Jakarta sangat indah dan mewah. Dengan wajahku yang cantik, bukan karena aku percaya diri, tetapi, teman-temanku banyak yang mengatakan seperti itu, bahkan mereka menjulukiku dengan sebutan kembang desa, sangat banyak juga pemuda-pemuda desa yang tertarik denganku dan mereka berusaha dengan keras untuk menjadi kekasihku, tapi, sejak kelas tiga SMA aku telah jatuhkan hatiku kepada seorang teman sekolahku, Indra, ya, seorang pemuda yang baik dan sangat jujur. Sudah satu tahun kami berpacaran dan tak pernah ia membuatku marah. Dia selalu memberi semangat untukku, tapi satu yang tak pernah ia setujui, ialah cita-citaku untuk pergi ke Jakarta. Aku menerimanya saat itu.
Hingga suatu hari seorang mahasiswa tingkat akhir dari sebuah universitas besar di Jakarta datang ke desaku untuk mengumpulkan data untuk skripsinya, ia mengamati sistem perairan sawah yang kami gunakan dan membantu memperbaiki saluran irigasi itu. Memang, ia cukup pintar dan mampu membantu warga desa dalam perairan sawahnya, jadi desa kami tidak mengandalkan musim hujan lagi, karena aliran air sudah bisa di nikmati kapanpun.
Ya, nama mahasiswa itu adalah Adrian, ini memang benar nama aslinya, sengaja tak kusembunyikan nama aslinya, karena aku memang ingin orang-orang tahu siapa dia sebenarnya, agar setelahku tak ada lagi gadis-gadis yang mengalami nasib sepertiku saat ini.
Sebagai mahasiswa yang datang dari Jakarta, aku sering menanyakan kepadanya tentang Jakarta dan kehidupan masyarakatnya, dan bagaimana rasanya kuliah atau bekerja di sana, Adrian selalu menceritakan tentang keindahan kota Jakarta, hanya keindahannya saja, tak pernah kudengar dia berbicara tentang hal-hal yang jelek tentang Jakarta. Dan membuat impian yang sempat meredup kembali menyala di dadaku. Hari ke hari aku semakin akrab dengannya, hal ini membuat Indra cemburu dan melarangku untuk menjauhinya, ahh, seandainya saat itu aku mengikuti saran Indra mungkin keadaan seperti ini tak akan pernah ku alami, tetapi saat itu, aku tak pernah mendengarkan ucapan Indra, di dalam hatiku selalu mengatakan, mana mungkin tahu dia tentang Jakarta, dia hanya tahu tentang sawah dan ladang saja, sebuah kehidupan yang sangat membosankan, kata hatiku saat itu.
Seminggu sebelum Adrian mengakhiri praktek kerja lapangannya, dia tawarkan kepadaku untuk ikut bersamanya ke Jakarta dan mau menanggung biayaku selama di Jakarta, selama aku belum bekerja. Pertama kali aku menolak tawaran itu, tapi, dengan mulutnya yang manis dia terus merayuku, hingga akhirnya aku setuju ikut dengannya, juga di karenakan impian indah tentang Jakarta mulai membakar dadaku.
Aku berangkat ke Jakarta tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk kedua orangtuaku dan Indra, karena sudah dapat dipastikan mereka tak pernah akan mengizinkan. Aku dan Adrian bertemu di terminal antar-kota, karena memang Adrian tak ingin berangkat bersama-sama dari desa, yang kini baru aku ketahui alasannya, agar orang-orang desa tak menaruh curiga terhadapnya atas kepergianku dari desa.

***

Di Jakarta aku tinggal bersama Adrian di kontrakkannya, sebulan sudah aku di sini, Adrian memperlakukanku dengan begitu baik, ia juga menyuruhku untuk kursus bahasa inggris dan membiayai semua keperluanku, termasuk memberi uang jajanku perhari. Aku semakin terlena olehnya dan bayangan tentang orangtua dan Indra telah hilang di ingatanku.
Karena tinggal bersama dalam kontrakan, akhirnya kami menjalani kehidupan seks bebas, kami sudah selayaknya seperti suami istri tanpa surat nikah, yang rupanya kehidupan seperti itu di kota Jakarta sudah menjadi sangat biasa, malah sudah terlalu sangat biasa sepertinya, saat itu tak pernah ada kata menyesal di diriku dan dunia sepertinya memang begitu adanya, tapi, itu hanya sebuah kebahagian sementara saja, kebahagian di saat penyesalan masih menjadi belati yang sangat tumpul dan waktu terus mengasahnya hingga suatu hari nanti akan menjadi senjata yang sangat tajam untuk menyayat setiap detik dalam kehidupan yang akan terjalani.
Waktu terus berlalu, tak terasa sudah enam bulan aku di sini, dan juga mulai kurasakan akan perubahan sikap dari Adrian, dia menjadi kasar, sangat perasa dan suka marah tanpa alasan, dan rupanya itulah sifat aslinya. Hingga akhirnya tiba pada hari yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, hari dimana Adrian menjualku kepada seorang germo seharga sepuluh juta rupiah. Ya, mungkin manusia sudah tak punya rasa, sehingga sudah jadi barang dagangan, dimana sistem perbudakan telah dihapus ratusan tahun yang lalu atau mungkin ribuan tahun yang lalu, tapi sepertinya itu hanya sebuah aturan yang tertulis saja, karena pada kenyataannya saat ini masih banyak terjadi perdagangan manusia.
Sejak saat itu tak pernah kulihat lagi keindahan Jakarta, nasibku menjadi seperti sapi perahan saja, setiap hari hanya melayani nafsu para lelaki hidung belang, aku memasuki dunia pelacuran tingkat atas, di karenakan kecantikanku dan keindahan tubuhku, banyak tamu yang menjadi pelangan, semuanya adalah orang-orang penting dan semuanya adalah orang kaya, tidak jarang juga para pejabat negara membokingku untuk menemani perjalanannya, para pejabat yang di televisi kulihat selalu bicara tentang kebenaran dan nasib rakyat, aku selalu tersenyum pahit ketika kulihat mereka di layar televisi.
Aku tidak tinggal di kontrakan bersama Adrian lagi, sejak dia menjualku tak pernah sekalipun aku bertemu dengan dia lagi karena tak pernah ingin kulihat wajahnya lagi, sudah terlalu besar dendamku kepadanya, sekarang aku tinggal di sebuah apartement di daerah kemayoran, seiring dengan pekerjaanku gaya hidupkupun ikut berubah, sebagai pelarian dari penderitaan di hatiku, akhirnya aku mulai suka mabuk-mabukkan, hari-hariku hanya di isi dengan melayani pelangan-pelanganku dan pesta-pesta di klub malam.
Tujuh tahun ku jalani hidup seperti itu hari ke hari, hingga suatu hari aku di diagnosa terkena penyakit, sebuah penyakit sampai saat aku menceritakan ceritaku ini, belum ditemukan obatnya, penyakit yang di sebabkan oleh penularan seksual ketika hubungan intim dengan berganti-ganti pasangan, mungkin aku ditulari oleh salah satu pelanganku, dikarenakan tidak semua dari pelanganku mau mengunakan alat kontrasepsi kondom ketika berhubungan, tidak enak kata mereka.
Setelah mengetahui aku terjangkit penyakit itu, germoku tak mau mengurusiku lagi, malah dia mencampakkanku seperti seorang yang tak punya arti sama sekali, padahal tak sedikit uang kuhasilkan untuknya selama aku menjadi pelacurnya, tapi inilah kehidupan, di dunia yang ku geluti saat itu, jika seseorang sudah tak bisa menguntungkan lagi, dibuang begitu saja.
Sempat beberapa kali aku menjalani pengobatan dan rehabilitasi, tapi semua itu tak ada yang dapat menyembuhkan penyakitku, malah menguras habis uang yang sempat aku tabung dan tak menyisakannya sama sekali. Sedikit demi sedikit tubuhku berubah, daging yang dulu menempel di badanku pergi entah kemana, seakan ikut jijik untuk melekat di tulangku, mukaku mulai terlihat seperti tua mendadak, aku menjadi hidup mengelandang, hidup dari belas kasihan orang-orang, tidur di sembarang tempat hingga akhirnya tak ada semangat di hidupku dan tak ada kekuatan untuk melanjutkan hidup lagi, dan belati penyesalan itu telah terasah dengan sangat tajam terus menghujam setiap sisi di hatiku, dan semua kejadian itu mengantarkan aku ke pinggir kali ciliwung ini.

***

Kembang desa ini telah tumbuh menjadi kembang hitam yang tak lagi wangi, sehitam kali di depanku. Belati itu terus menyayat tipis setiap sisi hatiku, tak ada lagi kekuatan dan semangat untuk menghadapi dunia ini, aku telah kalah, benar-benar kalah.
Dengan sisa kekuatan di hati, walau sebenarnya aku tak pantas untuk mengucapkannya, aku ingin meminta maaf kepada kedua orangtuaku, bukan kalian yang salah mendidik, tapi akulah yang salah melangkah.
Dan untuk laki-laki yang mencintaiku dulu, Indra, semoga engkau bahagia dan menemukan seseorang yang mencintaimu, dan cintailah wanita itu seperti kau mencintaiku dulu, dan sungguh aku tak pantas untuk mendapatkan cintamu.

***

Kutulis kisah perjalanan hidupku ini tanpa bermaksud apa-apa, hanya inginku, tak ada lagi wanita yang terjerumus sepertiku, hanya karena keinginan, kita buta akan yang lain. Terkadang, karena sebuah keinginan berlebih akan “sesuatu” kita lupa bahwa kita sebenarnya telah memiliki “sesuatu” yang terbaik di hidup kita.

Siapapun yang menemukan surat ini, sungai ini telah membawaku ke muara, ke akhir hidupku, ke akhir penyesalanku.

0 komentar:

Posting Komentar