Senin, 12 Juli 2010

Saudara (sesusu)

Pagi ini, udara dingin seperti menusuk sampai ke tulang. Bis yang kutumpangi semakin terus melaju ke depan tanpa menoleh sedikitpun kebelakang, semakin jauh meninggalkan desa kelahiran, sepertinya mengerti apa yang ada di pikiranku, takkan pernah ada jalan pulang. Siguntur muda, ya, desa yang tak pernah kutinggalkan sekalipun kecuali untuk bersekolah setiap hari ke kota Padang, karena di desaku tak ada sekolah menengah atas.

Didesa ini kita lahir dan besar bersama, bahkan orang tua kita sering berkata bahwa kita adalah saudara sesusu, karena sewaktu bayi ketika orangtuaku pergi ibumu yang menyusuiku dan begitupun sebaliknya ketika orang tuamu pergi maka ibukulah yang menyusuimu.
Dari kecil kita selalu bersama, berangkat dan pulang sekolah selalu bersama dan duduk di bangku kelas yang sama, belajar mengaji di suraupun kita selalu bersama dan bahkan melakukan kenakalan-kenakalan pun selalu bersama, dimana kau ada maka di situpun aku ada. Dari dulu, apapun yang aku miliki berarti kaupun memilikinya dan begitupun sebaliknya, ya, hingga suatu hari kita tersadar bahwa ada satu hal yang kita tak bisa memilikinya secara bersama dan itulah yang mengakhiri semuanya.
***
Dengan langkah agak sempoyongan kau mendatangiku, matamu merah, tak ada senyum di bibirmu dan bau minuman keras menyeruak dari tubuhmu.
“Aldi!” kau memangil namaku dengan suara yang sangat keras dan dengan penuh kemarahan.
“begini caramu membalas persaudaraan kita selama ini.” kau terus berteriak sambil menunjuk-nunjukkan jarimu ke mukaku.

“Maaf, saat itu aku mabuk dan tak sadarkan diri, bahkan sampai sekarangpun aku masih tak ingat kejadian sebenarnya.”ucapku, membela diri karena aku benar-benar tak pernah ingat kejadian semalam.
“Ah, alasan saja kau.” katamu dengan raut muka yang tak percaya.
“Benar, kau tahu setelah kita minum-minum semalam aku mabuk berat dan bukankah kaupun sama mabuk denganku. lalu, kita sama-sama pulang, setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi, dan aku baru sadar setelah paginya aku terbangun sudah ada di dalam kamarnya dan dia tidur di sampingku.”aku masih terus mencoba memberi penjelasan karena hanya memang itu yang aku ingat.

“enak sekali kau bicara, kau tahukan dari dulu aku sangat mencintainya dan sekarang kau telah mengkhianati semuanya, kini kita bukan saudara lagi karena aku tak pernah sudi punya saudara sepertimu.” Nada suaramu semakin meninggi.

Tiba-tiba aku merasakan keheningan malam yang semakin hening, aku masih terus mencoba menginggat-ingat kejadian semalam dan tadi pagi dan sekaligus mencerna kata-kata yang kau ucapkan barusan. Begitu mudahkah sebuah ikatan persaudaraan yang telah kita jalin dari kecil bahkan ketika kita belum mengerti apa-apa putus hanya dikarenakan sebuah kesalahan yang mungkin aku lakukan tanpa sadar.

“Heh…” tiba-tiba kau berteriak memecah keheningan diantara kita dan kau memanggilku tanpa menyebut namaku lagi, satu hal yang tak pernah kau lakukan dari dulu.
“mulai sekarang, di desa ini hanya akan ada salah satu saja diantara kita, kau atau aku yang hidup.”

Aku terpaku mendengar kata-katamu, keringat dingin mulai muncul dari seluruh pori-pori kulitku, kakiku gemetar seakan tak mampu menahan berat badanku. Dan tanpa kusadari kau telah menggengam pisau lipat yang selalu kau selipkan di pinggangmu kemanapun kau pergi. Matamu semakin merah menyala, amarah atau kemabukkan yang membuatmu bertindak seperti ini, tak sempat aku berpikir apa yang mendorongmu berbuat seperti ini ketika tiba-tiba aku tersadar pisau lipatmu telah mengarah langsung ke dadaku.
***
Sepagi ini terminal di kota padang begitu sepi, hanya ada beberapa calon penumpang dan beberapa bis antar kota saja. Aku merasakan gemuruh di dadaku begitu hebat, masih kurasakan badanku gemetar dan keringat dingin itu tak pernah mau berhenti. Pisau lipatmu telah terselip, berpindah tempat ke pinggangku, sebagai tanda kau tetap ada bersamaku kemanapun aku pergi, karena bagiku kau akan terus menjadi saudaraku.

Di desa kelahiran kita tentu orang-orang akan selalu melihat kita bersama-sama, bukan salah satu dari kita, karena tak ada kata akhir bagi sebuah hubungan persaudaraan. Dan malam tadi adalah malam terakhir untuk kita di desa kelahiran kita, desa yang tak pernah kita tinggalkan sekalipun. Tapi, sekarang aku harus meninggalkan desa itu untuk selamanya dan meninggalkan semua yang kumiliki kecuali persaudaraan kita.

Selamat jalan saudaraku, dimanapun kau berada kini, aku akan selalu menjadi saudara bagimu.


BF
Bekasi, 27-06-2010

0 komentar:

Posting Komentar