Rabu, 24 Agustus 2011

jalan hati (cerita...)

Jalan Hati

“kau tikam aku dengan cintamu dan rasanya manis sekali, rasanya manis sekali, kau beri aku surga dunia, dan rasa ingin kuulangi, rasa ingin kuulangi….”
Suara band winner terdengar dari telpon gengamku, sebuah nada panggil khusus yang kutujukan hanya untuknya.
“hallo”
“hallo juga” jawabku.
“nanti malam setelah jam kerja kita ketemu di hotel tempat biasa ya, aku sudah booking tadi.”
Tanpa menunggu jawabanku telpon itu telah terputus.
***
Memang, jam istirahat makan siang seperti ini selalu kami pergunakan untuk saling menelpon, atau mengatur janji untuk bertemu setelah usai jam kerja, selalu, sejak pertama kali ia kembali kedalam kehidupanku. Tepatnya, satu tahun yang lalu ketika tiba-tiba ia menelponku dan bercerita tentang apa yang dirasakannya, sebuah penyesalan. Rasa sesal atas sebuah keputusan yang diambilnya dulu, rasa sesal ketika ia lebih memilih logika dan keluarganya daripada perkataan hatinya.
Memang, tiga tahun yang lalu, ia memutuskan untuk mengikuti keinginan orangtuanya untuk menikah dengan pilihan mereka dan memutuskan hubungan kami yang sudah cukup lama, enam tahun, ya enam tahun, bukanlah waktu sebentar untuk sebuah hubungan. Tetapi, yang lebih tak bisa kuterima dari itu semua; bahwa kami saling menyayangi dan saling membutuhkan satu dengan yang lain. Namun, saat itu tak ada yang mampu kuperbuat, karna apalah yang bisa di lakukan seseorang yang tak mempunyai kekuatan apa-apa, seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Maka, kurelakan ia pergi dan memilih untuk menghilang. dan satu tahun yang lalu tiba-tiba ia datang kembali.
Mungkin memang begitulah hati; mempunyai caranya sendiri untuk menemukan jalannya, jalan yang membimbingnya untuk pulang, pulang kemana ia seharusnya bermukim. Dan begitu juga dengan cinta, ia tak akan pernah benar-benar mati, mungkin ia hanya bisa ditidurkan sebentar, hingga suatu hari ia bangun kembali dan mencari serta menyusun kembali keeping-keping kisah yang pernah terpecah. Dan tak ada kekuatan yang mampu menghentikan, seperti saat ini, ketika kau dan aku bertemu kembali.
***
Jalanan Jakarta ketika jam pulang kerja seperti ini sangat macet, vespaku melaju dengan ragu, seperti mengerti atas apa yang ada dipikiranku saat ini, keraguan atas telponnya siang tadi, tidak seperti biasanya ketika ia mengakhiri percakapannya denganku, biasanya setiap ia mengakhiri telponnya selalu mengucapkan kerinduan dan rasa cintanya. Tapi, kali ini sepertinya ia terburu-buru dan suaranya berat dan seperti seseorang yang mengucapkan dengan terpaksa.
Setelah satu jam-an bergelut dengan kemacetan jalan dan keraguan di pikiranku, akhirnya aku memasuki lobby hotel juga. Lobby hotel sepi, hanya terlihat beberapa pegawai hotel yang duduk-duduk di ruang resepsionis, memang di hari-hari kerja seperti saat ini hotel ini tidaklah begitu ramai, sangat berbeda ketika akhir pecan. Dan karna tidak terlalu ramai itulah makanya kami suka janjian ketemu di sini, di hari kerja tentunya.
Aku langsung menuju ke kamar yang dia sebutkan melalui sms yang ia kirim kepadaku, setelah telponnya siang tadi.
***
Entah sengaja atau tidak ternyata memang pintu kamar itu tak terkunci, tidak seperti biasanya, dimana pintu kamar selalu terkunci ketika ia yang datang lebih dulu ke hotel ini dan aku harus mengetuknya terlebih dahulu, namun kali ini pintu tidak terkunci. Dengan sedikit ragu kubuka juga pintu kamar, kulihat kau duduk di salah satu kursi yang berada di samping tempat tidur, kau hanya diam dan menatap kepadaku, ada yang aneh, ketika kutatap wajahmu kau mengelengkan kepalamu seakan menyuruhku untuk tidak masuk ke dalam kamar, dan tentunya saat itu aku tak memperdulikan perasaan itu. Aku masuk ke kamar dan menutup pintu.
Airmata menetes darimatamu seiring langkah kakiku mendekat ke-arahmu, wajahmu semakin memucat, ketegangan tampak di wajah tanpa senyum itu, tidak seperti biasanya ketika kau menyambutku datang, selalu penuh dengan kecerian dan senyuman. Tapi kali ini semua sangat berbeda. Langkahku berhenti menujumu ketika sebuah benda dingin menempel di kepala sampingku, sebuah benda bulat, ujung pistol, aku terdiam tak mampu bergerak.
Airmata semakin deras menetes dari kedua matamu, tapi tak ada kata yang keluar dari mulutmu, kau memandang lekat kearah lakilaki yang wajahnya tak mampu kulihat yang berdiri di sampingku sambil menodongkan pistol ke kepalaku. Pandangan mata dengan kebencian yang teramat sangat, pandangan yang tak pernah kusaksikan sebelum hari ini.
“dorrr…”.
Keheningan terpecah oleh suara pistol yang meledak itu. Tak ada kesakitan, hanya kakiku seakan tak mampu lagi menahan berat tubuhku, dan pandangan mata yang semakin nanar, tetapi pandangan mataku tak pernah lepas dari wajahmu.
Sebelum tubuhku roboh, aku tersenyum ketika melihat wajahmu ikut tersenyum ketika pistol yang baru saja meledak itu juga mengarah kearahmu, dan itu adalah senyuman terindahmu semenjak kita bertemu kembali, seakan semua beban yang mengikutimu selama ini terlepas dari hatimu, sehingga hanya menyisakan cinta kita. Hanya cinta kita.

0 komentar:

Posting Komentar