Senin, 03 Januari 2011

Coretan Dinding.

Setelah menyelesaikan tulisannya, ia terduduk di sudut kamar, merasakan lemas di seluruh badan, sementara tatatapannya nanar kearah tulisan yang baru diselesaikannya, sebuah tulisan tentang apa yang terjadi, tentang kenyataan hidup yang ia alami. Terlihat jelas kilatan dendam terpancar dari sorot mata yang tajam itu, mungkin lebih tepatnya sebuah kebencian, kebencian akan keadaan, kebencian akan sesuatu yang diluar kendalinya.
Detik terus berdetak seakan sunyi membuat setiap suara terdengar nyaring, bahkan suara nafaspun seakan tak ingin ketinggalan untuk tampil, terus memburu seperti ingin terlepas dari jantung yang sesak terhimpit oleh beban berat yang menekan kuat dada, yang dikirim oleh otak dan pikirannya.
Setelah hari itu, airmata seakan menjadi airterjun yang tak pernah berhenti mengaliri kedua matanya dan bersumber yang entah dari telaga mana di kornea mata itu, setiap kenangan adalah irisan tipis hatinya dari belati yang berupa kenyataan. Ada goresan yang tertinggal dan tak akan mungkin hilang oleh obat apapun.
“Kau hadirkan dia untukku, lalu dengan cepat Kau ambil kembali, setelah begitu kokoh cinta di hatiku berdiri.” ia berkata dengan setengah berbisik, namun kepalanya mendongak ke langit-langit ruangan, seakan menantang dan meminta penjelasan atas kepergian lelaki yang sangat ia cintai.
Tak ada kehilangan yang lebih hilang dari pada kehilangan orang yang kita sayangi, seakan separuh nyawanya ikut terbang bersama orang yang dia cintai dan meningalkan setengah jiwanya lagi untuk menjadi tawanan dari kepedihan hidup dimana nyata selalu saja menjadi luka yang teramat perih.
Ia kembali tertunduk, sementara darah terus mengalir keluar dari ujung jari telunjuknya, jari yang dengan sengaja ia lukai dan di pakai untuk menulis di dinding kamar dan darahnya di pergunakan untuk menjadi tinta.
“lalu, siapakah yang harus kusalahkan akan semua yang terjadi. Tak mungkin kusalahkan dia dan cinta yang tumbuh subur di hatiku, karena tak ada yang salah dari cinta, ia hadir tanpa pernah bisa di tentukan, ia hadir secara alami, ialah cahaya yang menerangi kelamnya hatiku, dan tiba-tiba kenyataan merampasnya cahaya itu dari hatiku.” Ucapnya kembali dengan kepala tertunduk dan suara tertahan seakan hanya berupa desisan saja.
Perlahan dia bangkit berjalan pelan kearah tempat tidurnya mengambil pelan gaun putih, sebuah gaun pengantin, gaun yang ia pakai di hari pernikahannya, di hari dimana seharusnya menjadi hari dimana puncak kebahagian menghampirinya, tetapi, kenyataan berkata lain. Hari itu, adalah hari dimana setiap mimpinya dan hatinya hancur dalam sekejap. Dan gaun pengantin itu di dekap erat ke dadanya, airmata terus mengalir di pipinya, deras membasahi gaun putih itu.
“selamanya, aku adalah istrimu dan kau adalah suamiku tanpa pernah perduli apa yang akan di katakan orang-orang dan juga aku tak pernah perduli akan norma masyarakat, di hatiku hanya ada cintaku dan kamu, hanya itulah hubungan kita, tak lebih.” Ucapnya lagi.
Lalu dengan perlahan ia duduk di tepi tempat tidur, tempat tidur yang telah ia persiapkan untuk malam pengantin dan malammalam seterusnya di hidupnya, namun itu semua hanya tinggal kenangan, kematian kekasihnya telah merengut semua harapan itu.
“kepadamu cintaku, aku berjanji untuk menjaga janin yang telah kau titipkan di rahimku, janin yang tercipta oleh cinta yang terkandung di hati kita dan sekalipun aku takkan pernah menyesali apa yang telah kita lakukan, bukankah memang begitu seharusnya mencintai, menerima semua apa yang telah terjadi, tanpa harus mengutukki kesalahan-kesalahan yang telah berlalu, hatiku menerimamu dengan ikhlas maka setiap kesalahan adalah pembelajaran bukan sesuatu yang membuat kebencian di hati, dimana cinta sejati tak pernah ada rasa dendam di dalamnya, bukankah begitu hakikat cinta sejati”. Perkataan yang ia ucapkan membawanya kembali ke masa-masa dimana ia merasa hari yang paling bahagia di hidupnya, ketika kekasih hati selalu ada di sampingnya, dimana tawa dan bahagia adalah waktu yang berdetak di harinya, begitulah ketika cinta saling berbalas, seakan tak ada yang lain yang lebih penting di dunia ini selain cinta mereka, hingga buah dari cinta itu bersarang di tubuhnya.
Cukup lama ia duduk terdiam di tempat tidur itu, hingga akhirnya ia berdiri dan memandang kembali sekeliling kamarnya, banyak kenangan yang telah tercipta di kamar ini, di kamar inilah dia selalu mencurahkan isi seluruh pikirannya dan juga tempat dia melepas semua keluh kesah hidup, kamar yang telah ia tempati sedari dia kecil dulu. Kamar yang seharusnya nanti ia wariskan untuk anaknya. Tapi, sekarang kamar ini harus ia tinggalkan untuk selamanya.
Matanya berhenti memandang sekeliling kamarnya ketika ia melihat sebuah pigura yang di dalamnya terdapat foto dia dan kekasihnya, kembali airmata turun membasahi kedua pipinya, terus ia pandangi foto itu, menatap lekat-lekat, ada banyak garis kemiripan di wajah mereka, garis wajah yang dulu sangat ia sukai, ketika orang-orang mengatakan itu adalah tanda mereka berjodoh, namun saat ini dia sangat membenci banyak kesamaan garis wajah diantara mereka.
Tiba-tiba tangannya terkepal dengan keras ketika ia kembali ingat ke hari pernikahannya, hari dimana semua persiapan telah di lakukan, hari dimana seharusnya seribu doa kebahagian terlantun, hari dimana seharusnya setiap nada menciptakan lagu-lagu cinta yang indah. Hari itu, di sebuah rumah ibadah yang sangat besar di kotanya, dengan hati yang sangat berdebar kencang ia menunggu kekasihnya datang untuk mengucapkan janji setia untuk selamanya, detik-detik waktu seakan berjalan lambat di antara kencangnya detak di jantungnya, inilah saat yang paling ia tunggu di hidupnya, saat dimana dia dan kekasih di jadikan satu dalam aturan masyarakat, karna sebelumnya memang mereka telah merasa disatukan oleh perasaan mereka.
Lima belas menit sebelum waktu yang telah di janjikan akhirnya kekasihnya datang, secara refleks bibirnya tersenyum melihat wajah kekasihnya dan begitu pula dengan kekasihnya, mata mereka beradu dalam seribu rasa yang tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata, rasa yang hanya mereka berdua mengerti. Namun sekali lagi hidup memberi bukti, ketika kebahagian telah hampir sempurna maka saat itulah kesedihan mengambil peran, dan itu ia sadari ketika ia melihat ibunya menangis dan mengatakan pernikahan itu harus dibatalkan, melihat hal itu dia serta kekasihnya saling beradu tatap dan berada dalam kebingungan dan tentunya menolak pembatalan pernikahan itu, hingga akhirnya mereka di bawa ke sebuah ruang di samping rumah ibadah itu, dimana di sana hanya ada dia, kekasihnya, ibunya serta ayah dari kekasihnya.
Cukup lama juga ruang itu sunyi, mereka yang berada di dalamnya bergelut dengan pemikiran masing-masing, hingga akhirnya ibunya membuka pembicaraan dengan airmata menetes di matanya, raut wajahnya memancarkan keberanian yang seakan di buatbuat.
“kalian tidak boleh menikah.”ucap ibunya
“lalu apa alasannya kami tidak boleh menikah, kami saling mencintai dan kami telah sepakat takkan ada yang bisa memisah kami.”
“pokoknya kalian tak boleh menikah.” Ayah kekasihnya mulai membuka suara untuk pertama kalinya. Ada kilatan penyesalan terpancar di matanya.
“apapun yang terjadi kami harus menikah.” Jawab kekasihnya dengan suara yang agak meninggih. Sementara ia hanya bisa menangis mendengar perdebatan itu.
Pembicaraan itu terus berlangsung, hingga akhirnya sebuah kata membuat ruang itu kembali sunyi, sebuah kata yang di ucapkan oleh ayah kekasihnya, sebuah kata yang menyebutkan mereka adalah kakak beradik. Dan tentu saja ia dan kekasihnya tak dapat mempercayai perkataan itu dan tak menerimanya. Lalu, ibunya kembali membuka suara dan menceritakan semua kejadian masalalu, bahwa ibu dan ayah dari kekasihnya dulu adalah sepasang kekasih, mereka saling mencintai, tapi, kedua orang tua dari ibunya tidak menyetujui pernikahan itu, mereka menolak ayah kekasihnya untuk menjadi menantunya, hingga akhirnya ibunya menikah dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihan orang tuanya dan tak lama kemudian ayah kekasihnya menyusul menikah dengan oranglain, mereka menikah dengan orang yang tak mereka cintai, beberapa tahun mereka tak pernah bertemu lagi, namun benar kata orang-orang bahwa dunia itu sempit dan mereka pun akhirnya bertemu kembali dan kembali juga cinta di hati mereka yang telah lama mereka pendam muncul ke permukaan dan mereka tak kuasa untuk melawannya, hingga terjadilah perselingkuhan yang menurut orangorang salah, tetapi menurut mereka itu adalah sesuatu yang tak salah, karna mereka tak mampu menahan keinginan hati mereka sendiri, perselingkuhan itu terjadi cukup lama hingga akhirnya ibunya hamil dan di ketahui oleh suami ibunya, di karenakan suami ibunya tak pernah bisa mempunyai keturunan di sebabkan oleh penyakit yang di indapnya, tetapi suami ibunya itu memaafkan ibunya dengan persyaratan tidak boleh menemui ayah kekasihnya lagi dan harus ikut untuk pindah ke kota yang lain bersamanya, sejak itu mereka tak pernah bertemu lagi dan berhubungan lagi hingga hari ini.
Setelah mendengar penjelasan dari orangtuanya itu, kekasihnya tak mampu menerima kenyataan bahwa mereka adalah kakak-adik terlebih mereka telah mempunyai buah dari cinta mereka yang kini telah terkandung di rahimnya. Merasa tak mampu menerima kenyataan itu kekasihnya berlari dan mengendarai mobil dengan kecepatan yang sangat tinggi, hingga akhirnya ia mendengar kekasihnya meninggal karna kecelakaan lalu lintas. Setelah mendengar kekasihnya meninggal ingin rasanya ia ikut menyusul kekasihnya terlebih mereka pernah berjanji untuk akan selalu bersama dalam hidup dan mati, tetapi janin di rahimnya membuat dia bertahan untuk tetap hidup, karna janin ini adalah buah dari cinta mereka, di janin inilah setengah dari diri kekasihnya hidup.
kembali ia berjalan kearah foto ia dan kekasihnya, mengangkatnya dengan pelan dan mencium lembut wajah kekasihnya, cukup lama ia melakukan itu dan akhirnya ia memasukkan foto itu kedalam tas yang telah ia persiapkan untuk menemani perjalanannya, meletakkannya diantara barang-barang kenangan mereka berdua.
“kekasihku, aku akan pergi meninggalkan kota ini ke tempat dimana tak seorangpun mengenalku. mungkin dunia ini tak dapat membuat kita satu, sabarlah untuk menungguku di tempatmu, akan kubesarkan anak kita dengan cinta yang telah kau ajarkan kepadaku, percayalah, takakan kubuat dia mengetahui asal-usulnya, biarkan dia mengenalmu dari ceritaku saja, betapa kau mencintainya dan ibunya, namun, takdir membuat ayahnya harus meninggalkannya hanya bersama ibunya.” Bisiknya sambil meraih tas itu ditangannya dan bersiap meninggalkan kamarnya.
Sebelum ia pergi dan menutup pintu kamarnya masih sempat ia baca tulisan yang ia tulisan di dindind kamarnya.

“ Ia yang sejati, tak akan pernah mati
Selalu hidup dalam api abadi
begitulah, yang saling mencintai
tak akan pernah lagi mencari
Apapun itu, kita adalah kekasih
Tanpa norma dan keadaan
Karna cinta yang menikahkan kita
Dan cinta tak pernah salah”

0 komentar:

Posting Komentar